Malam itu hujan turun dengan derasnya, dikehamilanku yang memasuki 6 bulan aku mengajak Mas Kemal bicara soal persiapan melahirkan nanti
"Mas, gimana ini biaya melahirkan?? Walaupun ditanggung BPJS tapi kita kan tetap perlu persiapan mas, aku takut nggk bisa melahirkan normal dan harus di cesar, dibawa ke kota, kalau kita nggk ada pegangan uang, nanti gimana mas?" Ujarku panjang lebar.
Mas Kemal diam sembari menghisap rokok dengan seriusnya. Asapnya mengepul di dalam ruangan pondok membuat pengap. Mual kepalaku mencium dan menghirup aromanya, tapi apa daya Mas Kemal tidak mengerti. Ribut pun aku tak bertenaga untuk mempermasalahkan kebiasaannya merokok yang tak tau tempat dan waktu.
Kerutan didahinya makin kelihatan jika sedang berpikir keras seperti itu. Aku tahu dia juga kawatir memikirkan persiapan melahirkanku nanti. Kami sama sekali tak punya uang simpanan. Untuk makan saja susah, bagaimana mau menyimpan uang.
"Ya gimana Tih, sejak karet harganya mulai turun, pendapatan kita juga makin kecil" keluh Mas Kemal tak ada solusi.
Aku mendengus kesal, memikirkan perlengkapan bayi saja belum satupun terbeli, mungkin aku akan meminta pakaian bekas sepupunya saja besok. Mengapa laki laki ini tak ada inisiatif lain untuk mencari uang selain menyadap karet dan menggembalakan sapi orang. Sapi yang digembalakan pun anakku Raja yang membantu mencari rumputnya.
Kurebahkan tubuhku yang mulai terasa berat dan punggung yang mulai pegal, tidur diatas kasur yang kubawa dari rumah kontrakanku dikota dulu, kalau tidak ada ini mungkin kami akan tidur dipapan beralaskan tikar. Percuma rasanya aku mendesak Mas Kemal, tak akan ada solusi, lebih baik aku tidur untuk mengumpulkan tenaga menyambut besok pagi dengan pekerjaan yang sudah menanti.***
Kujajakan timun yg kutanam beberapa bulan lalu dipekarangan sekitar pondok. Berharap hasilnya bisa menambah tabunganku untuk melahirkan nanti. Sejak pembicaraan malam itu yang jelas tak ada usaha dari Mas Kemal untuk mengumpulkan uang lebih, aku terpaksa berusaha sendiri. Dengan perut yang makin membuncit, aku menanam sendiri timun dan terong. Apa saja yang bisa ditanam dan dijual. Alhamdulillah timun hasil jualanku dengan cepat habis, karena disini pasar hanya sekali dalam seminggu, jadi orang kampung agak kesulitan mendapatkan sayur dan buah. Begitu ada timun yang ku jual, merekapun tertarik untuk membelinya."Sapi Pak Jaelani jadi dijual Mas?" tanyaku pada Mas Kemal yang baru pulang dari rumah Pak Jaelani yang menitipkan beberapa ekor sapinya untuk kami pelihara.
"Jadi" jawabnya singkat sembari menyulut rokok ditangannya. Hah! Rokok lagi.
"Dapat bagian berapa?" Selidikku, karena selama ini uang pembagian penjualan sapi yang kami rawat tak pernah diserahkan padaku. Alasannya uangnya nanti untuk keperluan mendadak. Baiklah, aku mengalah.
"Cuma 3 juta, ini kusimpan untuk biaya melahirkan kamu nanti Ratih" Aku tersenyum gembira mendengarnya, setidaknya kekawatiran ku akan biaya melahirkan nanti tak perlu dikawatirkan. Mas Kemal sudah menyiapkan uangnya.
Selang seminggu kemudian aku mengalami kontraksi hebat, Mas Kemal buru-buru membawa ku ke bidan yang tak jauh dari rumah. Proses melahirkan kedua diusia yang tak muda lagi sungguh berat dan menyakitkan. 2 hari 2 malam aku berjuang. Begitu bayi ku lahir, perjuanganku belum selesai, plasentanya melekat didinding rahim, jangan bayangkan sakitnya saat mengeluarkan plasenta yang harus ditarik dengan tangan sang bidan langsung ke dalam. Nyawaku terasa sudah diambang kematian, sakitnya terkira. Ya Allah...jangan ambil nyawaku, aku tak mau Raja menjadi yatin piatu, jerit hatiku kala itu. Mas Kemal menangis melihat perjuangan ku melahirkan putri kami. Terima Kasih Mas, sudah mendampingiku melahirkan, tidak seperti ketika aku melahirkan Raja yang tidak didampingi oleh ayahnya. Nanti akan kuceritakan bagaimana kisah pernikahanku dengan Ayah Raja.
Putri cantik kami lahir dengan berat 3000gr. Berambut kriwil dan berkulit kemerahan, sepertinya kulitnya akan gelap sepertiku. Mas Kemal memberinya nama Nindi.
*****
Kehadiran Nindi mampu menggeser perhatianku yang selama ini tercurah pada Raja. Diusia hampir 13 tahun Raja baru memiliki adik, dan itu menimbulkan rasa cemburu dihati Raja. Apalagi Raja dalam masa puber. Sepulang sekolah bukannya langsung pulang dan membantu Ayahnya mencari rumput untuk sapi, tapi malah bermain sampai sore dirumah temannya. Hal itu membuat Mas Kemal murka, Raja baru pulang kerumah menjelang magrib, sementara rumput untuk makan sapi belum dicarinya.
" Dasar anak tidak tahu diuntung! Seenaknya kau bermain sampai hampir malam begini, kau lupa siapa memberimu makan hah???!! Itu sapi mau diberi makan apa kalau rumput tak ada???" Menggelegar suara Mas Kemal membentak Raja membuatku terperanjat. Belum pernah Mas Kemal semarah itu dan mengeluarkan kata-kata yang tak hanya melukai hati Raja tapi juga perasaanku.
"Sudahlah Mas, mungkin Raja ada tugas kelompok" aku mencoba membela Raja. Raja hanya terdiam menunduk didepan pintu pondok. Tak puas dengan omelannya, Mas Kemal menampar Raja dengan keras.
Plak!!!!
"Tugas kelompok atau main tak tau juntrungan dengan teman-teman berandalmu itu??" Teriak Mas Kemal lagi.
Raja berlari kebelakang pondok sembari memegang pipinya. Melihat itu aku sebagai ibunya sungguh tidak rela. Separuh nyawa kupertaruhkan untuk melahirkan dan membesarkannya selama ini, bagaimana bisa Ayah sambungnya berani berlaku kasar seperti itu??
Kususul Raja yang sedang menangis tersedu dipinggir sumur. Kudengar ratapnya...
"Aku memang tidak lagi dianggap sejak Nindi ada, aku selalu jadi sasaran kemarahan Ayah..aku memang tidak berguna..hu..hu..hu..." Raja menangis tergugu.Bersambung
Maaf mak rempong baru belajar nulis, mohon krisannya ya😊😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Ketiga (TAMAT)
RomanceBukanlah hal yang diinginkan Ratih menikah hingga 3 kali. Dengan berbagai masalah yang dihadapinya disetiap pernikahan. Kesedihan demi kesedihan dialaminya dalam menjalani rumah tangga. Itulah realita hidup, tak selamanya berakhir bahagia. Tak sepat...