Seorang lelaki memunculkan kepalanya ke dalam kelas yang di atas pintunya tertulis '7 B', pintu merah itu terbuka lebar membiarkan sinar matahari siang masuk ke dalam kelas karena jendela kelas itu tertutup tirai permanen, menghalangi sinar matahari masuk.
"Permisi bu Rina," ujarnya sambil tersenyum takut, untuk beberapa detik matanya menari-nari di antara murid-murid yang sedang duduk lesehan di atas lantai semen yang dilapisi plastik tipis bermotif kayu itu. Ia langsung menunjuk anak yang dari tadi dicarinya dengan ibu jari.
"Boleh pinjam Gee sebentar bu?" tanyanya. Mendengar namanya disebut, Gee otomatis menoleh.
"Ya boleh, tapi cepat ya Pak Endang, kami sedang belajar," jawab wanita gendut itu jutek, Bu Rina kembali melihat ke buku Matematika sambil membenarkan kacamatnya.
Adalah Pak Endang yang memanggil Gee siang itu, lelaki dua puluh tahunan yang bekerja sebagai Office Boy sekolah itu tampaknya masih belum selesai dengan pekerjaannya siang itu, ia masih memakai sepatu bot hijau yang tampak kotor terkena percikan rumput saat dipotong dengan mesin, sarung tangannya juga masih terpasang di kedua tangannya, ia memakai kaos biru dan celana cargo hijau tua.
"Misi ya bu," Gee berdiri dari tempat duduknya dan dengan perlahan berjalan ke luar kelas, wajahnya kembali segar setelah hampir satu setengah jam suntuk terjebak di kelas Matematika bu Rina, hari itu anak berumur tiga belas ini memakai jaket abu-abu dengan kaos hijau di dalamnya dan juga celana jeans, sekolahnya tak punya peraturan tentang seragam kecuali saat upacara saja.
"Ada apa pak?" tanyanya sambil membenarkan tudung jaket.
"Ini loh Gee, Mamah Papahmu udah jemput di depan tuh, disuruh pulang cepet katanya," Jawab pak Endang.
"Hee seriusan pak? Ok deh siap makasih pak!" Gee tidak bisa menyembunyikan senyum lebarnya karena bisa bebas dari materi pengenalan Aljabar.
"Yo sama sama," katanya, Gee masuk kembali ke dalam kelas dan pak Endang kembali ke pekerjaannya.
"Bu, saya dijemput Mamah nih, izin pulang ya," kata Gee sambil nyengir, memerlihatkan giginya yang rapih di bagian atas tapi berantakan di bawah.
"Hah pulang? Kita kan baru aja masuk ke materi ini, Gee! Aljabar ini penting loh! Nanti kamu nggak ngerti lagi kayak pelajaran-pelajaran sebelumnya," bentak Bu Rina.
"Kamu nih satu satunya yang nggak ngerti pembagian dasar, tau nggak? Masa setiap ujian kamu harus gambar seratus lidi lalu dilingkari setiap sepuluh lidi!?" amuk bu Rina, perkataan Bu Rina ini membuat beberapa murid tertawa, tapi kemudian mereka tahan setelah Gee menoleh ke arah mereka, tapi pandangannya kembali ke guru Matematikanya yang sedang mengomel ini, ia menganggap Bu Rina ini adalah guru paling kejam, tak tahu lima tahun kemudian ada guru yang lebih kejam dari beliau.
"Ya bu mau gimana lagi, orang tua saya sudah lama nih pergi dari rumah, pasti mereka bela-belain dateng ke sini langsung dari bandara bu, Matematika mah bisa ntar," katanya, ia berjalan ke tempat duduknya dan dengan buru-buru memasukkan barang barangnya ke dalam ransel lalu dengan sopan ia ulurkan tangan ke Bu Rina.
"Yaudah ya bu saya pulang dulu," katanya. "Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," jawabnya cuek menyalami murid nakalnya itu.
Gee lantas keluar kelas dan memakai sendal gunung hitamnya lalu berjalan melewati lapangan basket menuju kantor, terlihat banyak genangan air di pinggiran lapangan, meskipun pagi itu hujan, Gee terlihat kesilauan oleh teriknya matahari.
Aneh banget sih cuaca nih, tadi pagi hujan sekarang malah panas, apa bener kali ya nanti bulan Desember mau kiamat? Pikirnya dalam hati. Ia langsung teringat percakapan larut malam bersama Rian tentang kiamat 2012. Mengingat sahabatnya itu ia bergegas kembali ke arah kelas tujuh, tepatnya tujuh A yang persis di samping tujuh B.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Mati Di Abu Dhabi
General FictionSeorang remaja bernama Gee berangkat ke Abu Dhabi meninggalkan keluarga dan kekasihnya tercinta, di sana ia bertemu berbagai macam persoalan hidup yang tak pernah selesai. Update setiap malam Minggu!