Asrama

10 2 0
                                    


Sudah tiga hari Gee tinggal di KBRI. Bu Melly sudah seperti anggota keluarganya sendiri. Kebutuhan sehari-hari sudah dibeli di salah satu mall di Abu-Dhabi, gamis putih bernama Kandura juga masing-masing dapat dua potong. Pagi ini semua sudah rapih dikemas, Gee sudah menutup risleting kopernya untuk yang terakhir kali. Kegelisahannya sudah membuatnya berkali-kali membuka-tutup koper hitam yang penyok di ujung itu. Memastikan semuanya sudah masuk.

Ia melapisi badan kurusnya dengan jaket batik, topinya ia pakai, diputar ke belakang. Masing-masing sibuk dengan barangnya, satu per satu koper diturunkan ke lantai bawah. Dimasukkan ke Van putih yang semuanya sudah akrab dengannya. Barang-barang yang baru dibeli kemarin makin memenuhi kendaraan roda empat itu.

Gee berdiri di lapangan, menyender ke tembok. Sendawa berbau rendang keluar dari mulutnya, ia sadar mulai hari itu akan sangat lama lagi lidahnya bisa makan makanan Indonesia. Tak ia pedulikan soal itu karena makanan apapun tak ia pikirkan dari mana asalnya, selama itu tak pedas ya akan ia habisi.

Anak-anak sudah siap semua, tapi Bu Melly masih saja seperti menunggu sesuatu. Dia paham bahwa anak-anak butuh kepastian kapan mereka akan berangkat.

Hari ini Gee dan kawan-kawannya akan berangkat ke Al-Ain, tepatnya ke asrama. Dengar-dengar dari staff KBRI, di sana juga ada banyak murid Indonesia lainnya. Al-Ain sendiri lokasinya masih bagian dari Abu Dhabi. Tapi menurut orang-orang, Al-Ain jauh lebih damai, seakan akan jadi tempat pelarian dari hiruk-pikuk perkotaan di Abu Dhabi. Bahkan menyatunya 7 kerajaan UAE dimulai dari kota ini, Sheikh Zayed berasal dari Al-Ain. Kota yang dulunya tandus ini berhasil Sheikh Zayed ubah jadi kota yang asri nan hijau, mata air mengalir di daerah Mubazzarah. Gee akan mengunjunginya nanti tentu saja.

Bu Melly berjalan ke tengah lapangan. Dari mulutnya keluar kalimat penuh keramahan: "Semuanya sudah siap?"

"Siap, bu."

"Kita pamitan dulu ya sama pak Dubes, beliau masih di jalan, nanti baru kita ke Al-Ain," katanya. "Nggak ada yang ketinggalan kan?"

"Nggak ada, Bu."

Tak lama mereka menunggu, datanglah pria berbadan sedang berambut abu-abu memakai jas hitam, ia berjalan mendekat sambil sesekali membenarkan kacamatanya. Supratman Bakri namanya, ia baru saja menduduki posisi duta besar Juni itu. Ia tampaknya juga masih belum familiar dengan lingkungan KBRI. Lelaki ini menatap dengan bangga satu-satu murid yang akan berangkat, seakan mereka adalah anaknya sendiri. 

KBRI Abu Dhabi dibuka pertama kali pada 28 Oktober 1978 sementara hubungan diplomatiknya sudah terjalin sejak tahun 1976. Tapi jangan mengira kalau semua orang yang tinggal di UAE akan diurus oleh KBRI Abu Dhabi, faktanya, KBRI Abu Dhabi hanya melayani orang Indonesia yang tinggal di UAE bagian selatan (Abu Dhabi, Al Ain, Ruwais.). Sementara yang tinggal di daerah lain akan dilayani di KJRI Dubai.

"Semuanya udah siap berangkat?" Pak Bakri menanyakan soal yang tadi Bu Melly tanya, ia tersenyum. Ia mengenakan pin Garuda di jas hitamnya yang licin habis disetrika.

"Sudah, pak!" jawab anak-anak semangat, Gee juga terbawa semangat. Semua menyalami pria rendah hati ini.

Pamitan bersama pak Dubes ini tidak berjalan terlalu lama, ia sendiri harus sibuk melanjutkan pekerjaannya mengurus banyak hal. Pesannya untuk anak-anak beasiswa kurang dari 140 karakter, cukup untuk satu Tweet:

"Belajar yang rajin ya, kalian ini perwakilan negara kalian. Buat bangga orang tua di rumah ya," pesan pak Bakri. Anak-anak mengangguk penuh ihtirom.

Semuanya sudah duduk di mini van yang semuanya sudah familiar keras kursinya. Supir asal India itu memasang sabuk pengaman setelah alarm mobil berbunyi terus. Mereka semua melambaikan tangan. Mobil berjalan, Bu Melly mengikuti dengan mobilnya sendiri.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 24, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Aku Mati Di Abu DhabiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang