Kematian Seorang Pramugari

13 2 0
                                    

Delapan jam sudah Gee duduk di atas kursi pesawat. Ia diberi makan dua kali. Ada dua pilihan untuk makanan pertama, lelaki itu lebih memilih nasi dengan daging rendang dibandingkan pasta dengan sayur. Untuk hidangan yang kedua ia diberi mie cup.

Panasnya makanan kontras sekali dengan suhu di pesawat. Saking dinginnya bahkan selimut berwarna coklat yang disediakan maskapai itu tidak cukup hangat untuk Gee. Ditambah lagi saat remaja bermata tajam dan beralis tebal ini keluar dari kamar mandi setelah wudhu, saat angin menerpa kulitnya, ia menggigil gemetar.

Untuk menghabiskan waktu, Gee menonton film yang ada di TV pesawat di depannya. Ia menonton film Wreck It Ralph yang baru keluar tahun itu. Setelah itu Gee menonton dokumenter tentang pria yang pertama kali ke bulan: Neil Armstrong. Di luar perdebatan orang-orang tentang kebenaran apa Neil Armstrong benar-benar ke bulan atau tidak, perkataannya saat pertama kali menapakkan kaki di bulan sangat menginspirasi Gee.

"That's one small step for (a) man, one giant leap for mankind."

"Ini adalah langkah kecil bagi (seorang) manusia, lompatan besar bagi kemanusiaan."

Di tengah-tengah waktu Gee menonton, tiba-tiba kapten pesawat berbicara lewat microphonenya, yang pakai headset juga bisa mendengar karena memang sengaja disambungkan begitu.

"Mohon maaf perhatiannya untuk para penumpang pesawat Etihad, sekarang kita sedang ditimpa cuaca buruk. Mohon perhatiannya untuk—" suara kapten terputus. Lampu pesawat berkedip-kedip. Disusul oleh guncangan besar, beberapa tas terjatuh dari kabin. Penumpang mulai panik. Anak-anak menangis.

Gee mengencangkan sabuk pengaman, keringat mengucur dari pelipisnya. Jantungnya berdegup kencang. Matanya was-was melihat sekitar, sinar lampu yang mati-nyala terpantul dari mata hitamnya.

Dari luar terlihat petir menyambar. Kilatan cahaya itu bagaikan preman yang menakuti seisi pesawat yang berusaha lewat dengan gemetar. Petugas pesawat berjalan cepat di koridor, menenangkan semua.

"Semuanya mohon tenang! Harap kencangkan selalu sabuk pengaman and-"

Pramugari itu tertimpa koper, ia terjatuh di lantai dengan kepala berdarah. Penumpang panik berteriak. Pramugari yang lain berusaha menghampiri kesusahan, namun koper lain terjatuh kembali menimpa tubuh yang malang itu. Situasi makin panik.

Gee yang melihat kejadian itu berusaha mengembalikan ketenangannya, ia menoleh ke samping. Farhan menangis!

"Huu.. Huu.. Gee... Gue gamau mati di sini...."

"Jangan nangis Han, tetap tenang!" kata Gee.

"Kita bakal jatuh..... Kita bakal mati Gee..."

"Nggak! Percaya sama gue!" Gee mencengkram lengan Farhan. Sebenarnya ia pun ragu apakah ia akan selamat.

Sementara itu di kokpit, kedua pria berseragam putih itu berusaha keras mengendalikan kapal. Setir pesawat terasa sangat berat. Seakan-akan angin bertekad kuat menaklukan pesawat. Ditambah lagi tak ada yang terlihat di depan, hanya air yang tak henti-hentinya menghantam kaca. Awan hitam menutup semuanya.

"Bagaimana ini kapten!?" tanya Ahmad, co-pilot muda yang duduk di samping Henry, lelaki yang tampaknya sudah sangat berpengalaman.

Tak ada jawaban dari Henry. Lelaki itu matanya fokus menatap layar-layar di depannya. Menyerahkan seluruh keadaan kepada instingnya. Tangannya mantap menggenggam alat kendali dan berpindah mengendalikan kontrol yang lain. Ahmad hanya melakukan yang ia bisa –yaitu berdoa.

Tiga puluh menit mereka 'bertempur' melawan alam. Keberuntungan berpihak pada pesawat. Burung besar bermesin itu berhasil melewati medan perang, semuanya tenang kembali.

Aku Mati Di Abu DhabiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang