Tak ada yang bisa dilihat di kanan dan kiri mobil van putih yang diisi tiga belas remaja yang tertidur pulas itu, semuanya gelap. Kaca mobil berembun kedinginan, cuaca November di UAE sudah bisa dibilang termasuk musim dingin. AC van saja sejak dari restoran Porata memang sengaja tidak dinyalakan karena memang sudah dingin.
Mobil dibelokkan ke kanan dan berhenti di depan gerbang berwarna hitam-emas. Pak supir membunyikan klaksonnya, seseorang dengan rambut acak-acakan dengan jaket segera membukakan pintu, ia menutup mukanya yang kesilauan begitu tersorot lampu mobil. Dua mobil itu masuk ke lapangan dan berhenti di depan panggung, lampu putih yang dirubungi serangga itu menyinari pinggiran lapangan.
Gee membuka matanya yang lentik perlahan, ia dengan cepat menutup hidungnya dengan tangan.
"Woi! Siapa nih yang kentut!?" teriak Gee. "Bau banget!"
Semuanya kaget. Yang sedang tidur langsung membelakkan mata. Suasana langsung heboh.
"Wah iya nih!"
"Aseeeeem, elo ya Aziz!?"
"Bukan! Elo kali Han!"
"Keluar-keluar woi! Bau banget!"
"Iya nih pasti gara-gara porata tadi!"
Semuanya berlarian ke luar, Pak Hilman tersenyum melihat tingkah mereka yang heboh. Mereka seketika hening ketika sadar mereka sudah sampai. Ada yang matanya masih terbuka setengah, ada juga yang mengucek-ngucek kedua matanya tak percaya.
"Selamat datang di Kedutaan Besar Republik Indonesia Abu Dhabi," kata Pak Hilman, dari mulutnya keluar asap, sebenarnya itu uap. "Yuk langsung bawa aja kopernya ke kamar, kalian sementara tinggal di sini dulu ya."
Pintu van putih khusus tas dibuka, koper dan tas yang disusun sedemikian rupa ketika berangkat sekarang bentuknya tidak beraturan. Semuanya mengambil barangnya masing-masing.
"Udah nggak ada yang ketinggalan lagi?" tanya Pak Hilman, ia mengecek isi van. "Oke, kosong."
"Saya pulang dulu ya ke rumah, nanti kita ketemu lagi besok-besok," kata Pak Bara pamit, ia menyalami semua anak-anak dan pergi menumpang van yang pergi juga.
Semuanya mengira Pak Hilman akan mengajak mereka ke gedung dengan lambang garuda di sebelah kanan lapangan, ternyata Bapak kandung Raffa ini mengajak ke pintu besi di sebelah kiri lapangan.
Lorong mereka lewati, agak seram jika tidak dilewati bersama-sama. Setelah belok kanan melewati taman kecil dengan kolam ikan –yang tidak kelihatan isinya karena gelap—itu mereka menaiki tangga ke sebuah gedung. Pak Hilman membuka pintu perlahan, lampu banyak yang dimatikan di dalamnya.
"Di tempat ini, KBRI menampung TKW-TKW yang kabur dari tempat mereka kerja," kata Pak Hilman menjelaskan. "Kita ke lantai 2 yuk."
Gee dengan susah payah mengangkat koper dua puluh tiga kilogramnya itu, begitu juga dengan yang lain. Gee termasuk orang yang segan meminta tolong, ia lebih memilih bersusah payah sendiri daripada harus merepotkan orang lain. Pak Hilman yang tidak membawa apa-apa itu bolak balik membantu anak-anak yang keberatan mengangkat kopernya. Pak Hilman membuka pintu di sebelah kanan ruangan yang hanya berlapis karpet tanpa furnitur.
Semuanya menarik koper dan barang-barangnya ke ruangan itu, Gee masuk terakhir. Di ruangan itu ada beberapa kotak besi panjang yang entah berisikan apa. Di sebelah kanan ada ruangan dengan kasur besar dengan dipan kayu, di bawahnya ada dua kasur lagi. Semuanya sudah dipenuhi oleh anak-anak yang kelelahan begitu Gee menengok ke dalamnya.
"Gee sini aja tidurnya di kasur, masih ada tempat kok," kata Zaky, Gee bingung apa yang dimaksud dengan 'masih ada tempat' itu. Di lantai maksudnya?

KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Mati Di Abu Dhabi
General FictionSeorang remaja bernama Gee berangkat ke Abu Dhabi meninggalkan keluarga dan kekasihnya tercinta, di sana ia bertemu berbagai macam persoalan hidup yang tak pernah selesai. Update setiap malam Minggu!