Window Pain (Pt. 1)

18 1 0
                                    

Sudah satu bulan Gee dan Rian menunggu, tak terbayangkan rasa bosan yang mereka alami hanya dengan duduk di dalam rumah, semua terasa seperti penjara. Kesabaran mereka berakhir pada hari ulang tahun Rian, lima Oktober tepatnya.

Gee sangat ingin mengunjungi Naba Darp untuk terakhir kalinya, tapi orang tuanya sudah pasti tidak mengizinkan. Kebetulan, Pak Hendra sedang tur pelatihan menulis bersama Kak Salim di Garut, itu jadi sebuah kesempatan untuk Gee.

"Mah," kata Gee ke Mamahnya sepulang sholat Jum'at.

"Apa?" jawab Mamahnya yang terlihat cantik itu, padahal Gee yang habis sholat tapi malah Mamahnya yang semakin memesona.

"Aa ke ND sore ini boleh, ya?"

"Nggak," tolak Mamahnya.

"Mah... please, terakhir kali aja. Rian ulang tahun soalnya."

"Kamu nggak ingat kata Papahmu bulan lalu? Mau kena marah lagi?"

"Tapi kan Mah, kata Papah harus izin, lagian capek di rumah terus nggak pernah keluar, kayak penjara," Gee mengeluarkan alasan terbaiknya.

"Hmm," mamahnya menghela napas. "Yasudah, pulang kapan?"

"Besok pagi ya?"

"Nginep? Ada siapa memang di sana?"

"Ya ada teman-teman lah, bener ya boleh?"

"Iya, tapi jangan kasih tahu Papahmu, nanti marah, plus Mamah nitip pesan."

"Apa?"

"Hati-hati."

"Iya mah."

***

Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, Gee dan Rian sejak sore sudah ada di asrama Naba Darp, mereka juga sudah memberi tahu teman-teman bahwa mereka akan pindah sekolah ke luar negri, Muadz lah yang merasa paling sedih, ia harus kehilangan dua sahabatnya, sedari tadi Muadz tidak banyak mengeluarkan kata dan lebih memilih untuk bermain laptop.

"Dingin amat ya bro, jendelanya gue tutup ya," kata Gee ke Muadz yang sedang sibuk menggambar projek komik di laptopnya.

"Sok aja sih, bebas," kata Muadz jutek sambil tetap fokus ke layar ke laptop. Gee melihat ke sekitar, anak-anak asrama sudah tertidur. Pada kepanasan nggak ya kalau gue tutup jendelanya? Ah lagian juga ada kipas angin, pikir Gee. Ia berjalan ke luar kamar, mencoba melepas penahan jendela agar jendelanya bisa tertutup, tapi penahannya agak tersangkut.

"Lah nyangkut," kata Gee, ia menarik paksa penahan besinya, jendelanya agak terguncang. "Nah kebuka juga penahannya," Gee mendorong jendelanya agar tertutup, tapi sebelum jendelanya tertutup sempurna, engsel karatan di atas jendelanya itu patah, mengeluarkan suara kencang, sebelum Gee menengok ke sumber suaranya, jendela dua meter itu sudah lepas dari engselnya yang juga sudah terpental jatuh ke lantai, jendela putih dengan kaca hitam itu menghantam kaki kanan Gee keras, suara dentuman keras terdengar, diikuti oleh suara kaca pecah saat jendela jatuh ke samping.

"Aaaaaargh!" Gee berteriak, ia menjatuhkan tubuhnya ke lantai, kaki kanannya ia pegang dengan gemetar hebat, bibir bawahnya ia gigit dan nafasnya tidak karuan, Muadz lah yang keluar pertama, ia bingung harus berbuat apa melihat kaca hitam berserakan dan jendela di lantai yang tidak berada di tempatnya, lalu Rian dan anak-anak lain yang dari lantai atas dan bawah datang penasaran, terbangun sejak mendengar suara keras, Gee berteriak-teriak di atas lantai luar asrama, menutup matanya kesakitan.

"Gee, lo kenapa!?" tanya Rian panik, anak-anak yang lain hanya memerhatikan dengan prihatin, tanpa ditanya pun Rian sebenarnya tahu penyebab sakit kaki Gee, jendela di lantai menjelaskan penyebabnya. "Mu! Kok bisa jendelanya jatuh gitu!?" tanya Rian ke Muadz.

Aku Mati Di Abu DhabiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang