Nasehat

15 1 0
                                    

Rise And Shine-nya J.Cole terdengar keras dari speaker di dalam kamar Gee, lagu itu adalah lagu favorit Gee dari album pertamanya J.Cole yang keluar tahun lalu tepatnya 27 September 2011.

Gee fokus mendengarkan apa yang dikatakan rapper asal Carolina Utara itu, ia memang cenderung lebih fokus ke apa yang dikatakan dalam lagu yang ia dengar, karena itulah baginya Rap adalah bentuk seni yang paling kuat karena semuanya bisa disampaikan dengan detail.

"Kapan ya gue bisa bikin lagu.." gumamnya pelan, murid kelas dua SMP itu ia tak berangkat sekolah, tapi ia sudah rapih dengan kaos hitam polos dan celana katun dengan warna yang sama juga, hitam dari atas ke bawah, bukannya mau melayat orang meninggal, tapi Papahnya bilang akan ada tamu yang ingin bertemu dengan Gee Senin itu, entahlah siapa, Gee berharap Rey yang akan datang, tapi mustahil, Rey tidak pernah berani main ke rumahnya.

Lamunannya buyar saat lagu di speaker mati, ada telfon masuk di ponsel Gee, ia mencabut kabel aux yang terhubung ke jack ponselnya.

"Halo assalamu'alaikum?" angkatnya.

"Dipanggilin dari bawah nggak jawab jawab! Makanya jangan nyetel musik kenceng-kenceng!" Mamahnya memarahi Gee.

"Iya maaf Mah, ada apa?"

"Ini tamunya sudah datang, buruan ke rumah Nenek ya!"

"Emang siapa sih?"

"Udah dateng aja." Mamahnya menutup telfon. Gee menuruni tangga kayu ke bawah, tak lupa juga untuk mengunci rumahnya saat ia keluar. Kakak perempuannya, Sheila dan kedua adiknya, Nur dan Agi hari itu sekolah, jadi tak ada orang lagi di rumahnya selain teh Diyah, pembantu rumah tangga yang sudah selesai dengan tugasnya di dalam rumah, perempuan dua puluh tahunan ini menyetrika di musholla belakang rumah di samping dapur sambil asik telfonan dengan pacarnya cekikikan.

Dalam perjalanannya menuju rumah nenek yang hanya memakan waktu 5 menit, ia bertemu relawan yang tinggal di sanggar menulis Papahnya, kak Salim namanya, ia sedang duduk membaca novel di pendopo sanggar menulis itu, mahasiswa kumisan itu memakai kaos putih dan celana training biru tua.

"Eh Gabril." sapa kak Salim.

"Eh bang Salim." Gee menyapa balik.

"Gabril ga sekolah tah?"

"Wih panggil Gee aja sih, iya nih ga sekolah mau ada tamu."

"Hahaha ganti nama tah?"

"Iya biar keren hehehe lagian udah lama kok dipanggil begitu, mau ke rumah Nenek dulu ya."

"Iya, tiati." Matanya kembali tenggelam dalam novel Bumi Manusia di tangannya.

Gee lanjut berjalan, melewati pendopo, sebuah bangunan bertiang tanpa tembok yang biasa dipakai rapat para relawan jika sedang akan ada acara, ia juga melewati panggung, tempat di mana banyak orang-orang pentas seperti membaca puisi, teater, dan lain lain.

Gee membuka pagar bambu yang memisahkan sanggar menulis dengan rumah Neneknya, ayam berlarian di kiri dan kanan, kebun dengan beraneka macam buah terpampang dari sejak Gee membuka pagar itu.

Rumah berlantai satu dan tiga kamar yang sederhana dengan cat hijau muda itu ditempati oleh Neneknya Gee dan keluarga adik Papahnya Gee yang menemani wanita tua berumur delapan puluh tahunan itu, Mang Ali namanya, ia sudah beristri dan punya tiga anak.

Hari itu hanya ada Nenek Gee di situ, yang lain sibuk bekerja dan sekolah, Gee sering dimarahi karena jarang mampir ke rumah Neneknya itu.

"Assalamualaikum.." Gee berjalan ke teras depan, di sana ada Nenek Gee yang sedang duduk di atas kursi plastik hijau mengenakan kerudung jingga dan gamis batik, tongkat kayu buatan Saudi tergeletak di sampingnya setia, ada juga orang tua Gee yang sedang berbicara dengan seorang pria yang mengenakan kemeja putih yang kancingnya dilepas satu, ia memakai jam tangan hitam, rambutnya yang dinaikkan ke atas itu mengkilap, ia tampak percaya diri.

Aku Mati Di Abu DhabiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang