Binar 17

5 3 0
                                    

Maaf...
Maafkan aku, membuatmu menunggu
Menyiakan setiap waktu demi bahagiaku
Hingga, Tuhan telah menutup waktumu
Aku berdosa telah mengabaikanmu
Durhaka kah aku wahai Tuhanku?

Sudah tiga puluh lima panggilan tak terjawab pada ponsel Radit. Sejak bakda isya ibunya selalu menelpon, padahal kemarin Radit sudah bilang akan pulang mudik lebaran hari ini.

"Nak, kenapa telponya tidak diangkat? Dari tadi bersuara terus. Mungkin penting!"

"Iya, Bang. Ibu saya dari tadi menelpon terus, padahal saya sudah bilang hari ini pulang." ucapnya dengan ekspresi kesal.

Abang sopir taksi itu mendecak, karena ponsel Radit terus bersuara.

"Diangkat saja, pasti ibumu sedang khawatir. Takut terjadi apa-apa terhadapmu."

Radit tidak menanggapi perkataanya, dia menoleh kesudut kaca jendela mobil untuk beberapa detik, kemudian menggeser ikon yang berwarna hijau tanda mengangkat panggilan telpon dari kontak yang bernama 'Ibu'.

"Halo Bu, ini Radit, sebentar lagi sampai. Ibu jangan telpon terus ya Bu, dua puluh menit lagi sampai ko!" ucapnya hampir berseru karena kesal.

Dari semenjak,  Radit menjawab panggilan telpon, ibu hanya terdiam tidak ada suara darinya sedikit pun selain suara riuh yang ada di sana.

"Bapakmu ... sudah berpulang, Nak ... semalam pukul delapan." lirih ibu menahan isak tangisnya.

Seketika warna wajah Radit berubah pucat, mulutnya terkunci kuat, hingga dia tidak bisa mengatakan sepatah katapun untuk membalas ucapan ibu.

Ponselnya terjun bebas melintasi tubuh Radit, matanya merah mengeluarkan buliran bening yang terasa panas di pipinya.

Abang supir taksi, meminggirkan mobilnya di pinggir jalan dekat pohon.

"Kenapa, Nak?" tanyanya khawatir melihat Radit menangis sejadi-jadinya, memeluk erat ransel yang sedari tadi dipangkunya.

"Assalamu'alaikum, mohon maaf sebelumnya, saya Aryo. Sopir taksi Mas Radit. Maaf sudah lancang mengambil telponya, karena saya khawatir saat melihat Mas Radit, menangis ... kalu boleh tahu kenapa Bu? ..."

Dibalik telpon ibunya menceritakan semua yang telah terjadi tentang bapak Radit, pada Pak Aryo. Katanya beliau meninggal terkena serangan jantung. Padahal seminggu yang lalu beliau meminta Radit untuk segera pulang, tapi Radit lebih mementingkan pekerjaan yang teramat dia cintai.


"Turut berduka, Nak ... semoga amal ibadah bapak diterima oleh Allah, aamiin." ucapnya sembari menepuk pundak Radit, bersimpati.

"Abang, akan antar sampai rumah, tenangkan dirimu,  Nak! Tadi Abang sudah tanya alamat rumah  pada ibumu."

Sesampai di rumah, Radit menangis tersimpuh disamping keranda yang hendak di bawa ke Masjid untuk di sholatkan.

Abang sopir mengangkat kedua tangannya dan berdoa Ta'ziah "Inna Lillaahi Maa Akhozha, Walahu Maa A'Thoo Wakullu Syai'In 'Indahu Bi-Ajalin Musammaa ... Faltashbir Walatahtasib."

"Cinta mereka sungguh tulus, permintaanya hanya ingin melihat anak-anaknya berbahagia. Dikala mereka ditinggal oleh salah satu anaknya, tak hentinya mereka berdoa agar segera dipertemukan kembali. Berbahagia bersama menikmati indahnya hari raya. Pulanglah untuk orang tuamu, yang selalu menunggu kepulanganmu, sebelum mereka yang lebih dahulu pulang pada Tuhanya."

_Nabintang_

Binar RamadhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang