Binar 13

12 3 0
                                    

"Laki-laki yang meiliki iman ialah dia yang dapat menghargai pendapat seorang wanita, bukan malah merendahkannya dengan perkataan yang hina"
                  

-Nabintang Libra-

Ramadhan sudah memasuki hari ketiga belas, malam ini aku masih rutin menjadi makmum sholat terawih, di Masjid Al-Ikhlas.

Karena jarang sekali aku pergi keluar rumah hanya untuk sebatas main atau mengobrol, beberapa orang baru yang tinggal di kompleks yang sama, memperhatikan dengan asing. Termasuk dia. Pemuda yang kelihatanya seumuran denganku, dua puluh tahun.

Risih memang, jika setiap malam mendapat senyuman manis dari seorang lelaki, bukanya kegeeran, tapi aku takut pahala sunnah tarawihku berkurang karenanya.

"Assalamualaikum." Aku terperanjat, saat mendengar sura lelaki itu berada dekat di belakang.

"Wa'alaikumsalam!" ucapku hampir berseru karena terkejut.

Tidak peduli,  aku serius mencari tempat menaruh sandal yang masih kosong.

"Biar saya aja yang menaruh sandalnya, kamu masuk saja."

Tersenyum. Tidak mendengarkan apa yang dia katakan. Aku bergegas menaruhnya di pojok batas suci Masjid, setelah melihat ada tempat yang kosong untuk menarunya.

Malam ini terasa tidak khusyuk saat sunnah tarawih, AC mendadak rusak. Teramat gerah, membuat mukenaku basah karena peluh yang mengucur bak sumber mata air di pegunungan.
Begitu pula dengan kelakuan lelaki itu, semakin hari tingkahnya semakin membuatku gerah juga, seperti malam ini.

"Neng, saya temenin pulang ya? Makin kesini yang tarawih makin sedikit, jadi, Neng pulangnya sendirian 'kan?"

Buru-buru aku menolaknya. "Terimakasih, gak usah Ka!  Lagian jalan yang saya lewatin buakan hutan atau lautan kok,  jadi gak bakal tersesat atau hanyaut." jelasku.

"Hehe, kamu lucu ya ..."

Mataku terbelakak mendengar perkataannya yang semakin so kenal so deket. Belaga paling ganteng dan cool lagi. Eh,  tapi emang lumayan sih dia ganteng, putih, mancung, tapi sayang mancungnya agak mekar gitu, jadi kalau senyum, itu bulu hidung suka mengintip.

"Kalau begitu saya pulang, Ka--"

"Ehh, tunggu dulu ... boleh minta kontak HP nya? Hehe maaf sebenernya dari awal ketemu pengen kenal, tapi belum berani. Takut sudah bersuami. Ehehe."

Sudah diduga, tipikal wajah  yang punya mode manis penyakitan, tuh kayak gini. Senyum manis tiap ketemu, nyimpenin sandal ke tempat yang masih kosong. Ujung-ujungnya minta sesuatu.

Padahal kata temen-temen yang lain dia warga baru, pindahan dari Bogor.

"Aduh, gimana ya? Saya gak hafal nomor kontaknya berapa. Kalo gak salah, ada dua belas digit aja. Kalo gak salah juga, nomor terakhirnya itu empat puluh,"

"Yah, kalau gitu gimana aku bisa hubungin kamunya ..." lirihnya.

"Ishhh, gak konsisten banget sih?  Tadi nyebut dirinya sendiri pake kata SAYA, sekarang KAMU? ..." gumamku.

"Kenapa, Neng?"

"E-e-ehh, Nggak. Daripada Kaka,  ngobrol sama saya, gak jelas begini. Mending saya pulang. Udah malem,"

"Satu lagi deh, daripada minta kontak saya, mending minta pahala, sama Allah. Kaka tahu 'kan kalu di bulan Ramadhan, satu kebaikan akan di balas pahala berlipat-lipat ganda?... Wssalamualaikum." Segera membalik badan dengan hati-hati dan sopan. Supaya dia tidak tersinggung.

"Sombong!" gumamnya sedikit keras hingga aku mendengarnya.

"Terimakasih!" Aku menoleh sebentar. Melemparkan senyum paling ikhlas kepadanya.

Binar RamadhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang