Binar 10

14 4 1
                                    

Sore itu aku melihat keluarga kecil yang selalu harmonis, walau karakter mereka berbeda. Ayah, Ibu, dan Putri kembarnya yang berusia dua belas tahun. Kali ini ada hal yang menggoyahkan keharmonisan ditengah keluarga kecil itu.

Pukul lima sore menjelang berbuka, Si Ibu selalu sibuk menata makanan yang sudah ia masak ke meja. Sesekali Ibu berteriak memanggil Si Kembar untuk membantu, tapi panggilannya bagai angin lewat. Diabaikan.

Si Ayah, baru saja pulang dari kantor. Melihat Ibu sibuk, ia tidak berucap sedikit pun,  karena tahu, pasti dia akan mengomel walau semanis apapun Si Ayah berucap.

"Bu, Ayah bantu ya?" ucapnya setelah beberapa menit berpikir.

"Istirahat. Duduk aja di sana. Biar ibu aja!" ucapnya hampir berseru.

Si Ayah menurut, ia duduk di kursi makan. Matanya tak henti melihat si Ibu, berjalan kesana-kemari mengambil masakan di atas kompor.

Si Ayah, tak tahan melihat si Ibu, sesekali mengelap peluhnya dengan kain baju di lengannya. Capek. "Bu, Ayah bantu ya?" nada suaranya terdengar memaksa.

"Panggil Anak-anak aja buat bantu Ibu. Setelah itu, Ayah mandi!" tegasnya.

Lagi-lagi si Ayah, menurut demi menstabilkan kadar emosi si Ibu. Takut meninggi.

"Anak-anak, Ayah ... bantu Ibu gih, menata makanan ke meja ..." ucapnya pelan.

"Bentar, Yah. Kita lagi nonton pengajian di TV. Ini penting, buat tambahan pahala kita di bulan puasa, Ayah!" celetuk si Kakak.

"Bantu Ibu, pahalanya lebih gede loh. Pilih yang mana coba?" bujuknya dengan sabar.

"Tapi, Yah! Kita lemes ... iya, kan Kak?" si Kakak mengangguk, mengiyakan saudara kembarnya.

"Kalau Ibu, sakit karena kecapean. Anak-anak, Ayah, mau tanggung jawab buat masak sahur dan berbuka nantinya?"  ancamnya dengn nada menggoda.

Si Kembar,  akhirnya menurut. Mematikan TV,  dan bergegas membantu Ibu, di dapur.

'Glompranggg' Sepiring Tumis buncis yang dibawa  si Kakak, terjatuh gara-gara si Adik, menabraknya.

"Kaka! Ade! MasyaAllaaah. Ibu, udah masak capek-capek masak, kenapa malah di tumpahin?!"

Si Ayah, yang baru saja keluar dari kamar mandi bergeras ke dapur yang letaknya bersebelahan. "Udah  Bu, gak papa. Sini biar Ayah, yang beresin. Kalian duduk aja dikursi, sepuluh menit lagi adzan maghrib." pintanya.

"Gak usah, Ayah. Biar,  Kakak sama Ade,  yang bersihin." Si Ibu menarik lengan si Ayah, mengajaknya duduk di kursi makan.

Suasana seketika tegang. Si Kembar saling menyalahkan satu sama lain atas kejadian tadi.

"Ade, Kakak,  minta maaf gih sama ibu," Si Kembar, bergegas meminta maaf pada Ibu. Nadanya masih terdengar tidak ikhlas. Terpaksa.

"De, kak, saling minta maaf gih," Masih sama, si Kembar saling berucap maaf dengan nada tidak ikhlas.

Si Ayah, menarik napas panjang. Membuangnya perlahan. Menarik kursi agar lebih dekat dengan Si Ibu.

"Bu, ayah minta maaf, tadi gak bantu masak ... Ibu, jangan marah ya? Ayah ngerti Ibu, capek, kan?" Menepuk-nepuk punggung tangannya, sesekali memijatnya.

Si Ibu,  tersenyum, membalas pijatannya dengan mendaratkan kepala di dada kekar, si Ayah. "Maafin ibu juga Yah,  tadi udah marah-marah."

Si Kembar,  diam memperhatikan, ada rasa bersalah juga menyesal. Melihat  si Ayah, meminta maaf dengan lembut, membawa kedamaian.

Si kembar saling menatap,  seakan mereka memiliki pikiran yang sama.
"Bu, Kaka, minta maaf ... tadi gak bantu Ibu ..." ucapnya sembari memeluk Ibu. Segera di ikuti si Adik, yang juga mengucapkan kata yang sama dengan si Kakak.

Si Ayah, tersenyum melihat pemandangan yang membuatnya bahagia dari segala pemandangan indah manapun yang pernah dilihatnya.

"Tanggung jawab seorang ayah teramat berat di pundaknya. Dia harus menjaga orang tua dan saudara-saudaranya, menjadi suami yang bisa membimbing istrinya pada kebaikan, juga menjadi ayah untuk anak-anakanya, tak hanya itu seorang ayah harus menjadi guru, idola, sahabat, teman,  untuk anak-anaknya. Begitu pun dengan ibu."

_Nabintang Libra_

Binar RamadhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang