drapetomania

465 69 23
                                    

.

Kim Woojin bersusah payah mendaki anak tangga menuju unit apartemennya dengan kantung-kantung belanjaan memenuhi tangan kiri selagi tangan kanannya yang bebas merogoh saku untuk mencari kunci.

Sial, dia mengumpat pada dirinya sendiri, hari libur tenang satu-satunya yang ia punya minggu ini malah diinterupsi dengan kulkas kosong dan setumpuk baju kotor. Persetan dengan baju-baju yang belum dicuci. Selepas perutnya kenyang ia akan mengistirahatkan diri.

​Dua anak tangga lagi menuju lantai tiga, pandangan Woojin menangkap siluet seorang pemuda berambut pirang yang duduk di depan pintu kamar apartemennya dengan selinting rokok di sela-sela jari. Rambutnya nampak berantakan dengan wajah tertunduk suram. Siapapun yang melihatnya akan menganggap pemuda itu remaja putus sekolah yang sering mabuk-mabukan—atau mungkin preman yang akan memalak uang, namun Woojin kenal betul siapa pemuda itu.

​"Tangkap, nih!" Woojin melempar sekaleng soda dari kantung belanjaannya, yang langsung ditangkap dengan mulus oleh si Pirang setelah sempat terkejut selama sepersekian sekon. "Kita bicara di dalam saja."

​Pemuda itu mengekor di belakang Woojin ketika Woojin mulai memutar kenop pintu apartemen sederhana satu kamarnya ini. "Maaf Chan, aku belum sempat beres-beres."

​"Kau bilang gitu kayak kita baru kenal kemarin." Si Pirang tertawa mencemooh, dan Woojin melempar senyum kecil, menyamankan posisinya di atas sofa kulit biru yang warnanya sudah mulai memudar. Mereka kini duduk saling berhadapan dengan sekaleng soda di tangan masing-masing.

​Woojin masih menanti pemuda di hadapannya membuka mulut. Sejauh ia mengenal pemuda itu, hidupnya tidak pernah lepas dari masalah—terutama, sang ayah. Woojin hampir yakin kalau sahabatnya itu datang untuk mengeluhkan ayahnya yang otoriter dan semakin keras kepala, terutama setelah ia lulus SMA. Ayah pemuda itu akan semakin gencar menyuruhnya kuliah bisnis untuk meneruskan perusahaannya, namun pemuda itu malah semakin memberontak.

Hidup Woojin berbeda seratus delapan puluh derajat dengan hidup si Pirang. Woojin bersumpah dalam hati bahwa ia akan melakukan apa saja untuk bisa berada di posisi pemuda itu sekarang—hidup bergelimang harta dengan masa depan yang terjamin, bukan mengandalkan uang bulanan dari bibinya yang sering terlambat datang dan gaji kecil dari minimarket tempatnya bekerja.

​"Aku mau menginap di sini," kata pemuda itu langsung. Woojin diam saja. "Mungkin selamanya."

Racauan seperti itu sudah sering terdengar dari bibir si Pirang. "Serius, aku capek dengan tua bangka bajingan itu. Kami baru bertengkar lagi tadi, dia nggak pernah sehari pun membuatku merasa tenang ada di rumah."

​"Gampang buatmu bicara kayak gitu. Sialan. Aku ingin menukar apa pun yang kupunya buat berada di posisimu." Woojin tertawa renyah, membuat Chan menyipitkan mata kesal.

​"Kalau bisa pun aku juga akan tukar hidupku dengan hidupmu. Mungkin kau cocok jadi anaknya ayahku, jadi aku nggak perlu repot menolak permintaan untuk mengurus perusahaannya."

​"Chan, kau tahu ayahmu nggak akan berhenti menyuruhmu mempertimbangkan kemauannya itu, sampai kau bilang iya." Woojin menghela napas, mempertemukan tatapan mereka. "Lebih baik kau menyerah saja, deh."

​Chan mendengus kesal, menghabiskan soda kalengan dengan sekali tenggak. Kepalanya kini dia sandarkan pada sofa, menatap lurus langit-langit apartemen Woojin yang bocor dan berjamur. "Sampai mati pun aku nggak akan mau, aku benci melakukan hal yang aku nggak suka."

​"Kau nggak punya pilihan, Chan. Begitupun juga aku. Nasib kita ini sudah diatur, tinggal dijalankan saja." Woojin menelan ludah, ia sendiri tidak tahu apa yang barusan meluncur keluar dari mulutnya.

​Kalau boleh memilih, Woojin ingin meninggalkan hidupnya yang sekarang. Menjadi yatim-piatu bukanlah pilihannya. Kedua orangtuanya meninggalkannya entah kemana di depan pintu rumah paman dan bibinya yang cerewet bukan main, membuatnya harus angkat kaki di usia yang ke enam belas dan hidup sendirian di kota sebesar Seoul. Ia berhenti sekolah ketika berada di tingkat sebelas sekolah menengah, membuat lapangan pekerjaan yang dapat dilakukannya sekarang semakin menipis. Tapi ia membenarkan kalimatnya barusan—ia tidak punya pilihan.

​"Ada," sela Chan cepat, pemuda pirang itu menegakkan posisi duduknya menghadap Woojin, "kita kabur aja."

​Untuk sejenak Woojin mencerna ucapan sahabatnya itu. Lari dari masalah tidak pernah ada di dalam daftar kamus Woojin, meski terkadang hidup memberikannya sebuah lemon asam yang harus ditelan mentah-mentah. "Kau lelah dengan hidupmu, begitupun juga aku, bagaimana kalau kita pergi dan mulai hidup baru?"

​"Sinting," balas Woojin singkat. Chan tertawa kering, sementara Woojin tidak dapat membedakan apakah sahabatnya ini hanya bercanda, atau memang sangat sinting. Tapi dalam hati sesungguhnya Woojin tertarik untuk memulai lembaran baru di dalam hidupnya, meski ia sendiri tidak tahu bagiamana mereka bisa bertahan hidup.

Dua remaja yang akan memulai hidup baru sendirian, tanpa uang dan tanpa orang tua, terdengar sangat lucu. Seolah semua orang saat ini akan mentertawakan mereka. "Hidupku nggak akan berubah kalau kabur denganmu—yang ada tambah susah."

​Satu kata untuk mendeskripsikan Chan dengan idenya adalah, sinting. Entah sudah berapa kali kata ini terlintas di benak Woojin. Namun ia mengakui realita yang sedang bermain di hidupnya, dan memulai hidup baru terdengar sangat menjanjikan.

Mungkin Chan akan membawa sedikit harta untuk modal usaha mereka, tapi Woojin ingat kalau pemuda itu paling anti dengan namanya usaha dan bisnis sedang ia sendiri tidak begitu menguasainya. Chan hanya suka musik, tapi Woojin buta nada, mereka berdua tidak akan cocok melakukan apapun bersama selain menjadi pengemis di pinggir jalan.

​"Percayalah padaku," suara Chan terdengar ragu. Woojin mencemooh dalam hati bahwa pemuda ini sendiri bahkan tidak yakin dengan keputusannya. "Gimana kalau kau anggap saja ini bagian dari bersenang-senang selagi masih muda."

​"Aku jamin hidupmu nggak akan kenapa-napa, kalau kita gagal, aku janji bakal nyerah dan menerima keputusan ayahku. Mungkin tua bangka itu akan ngamuk pada awalnya, tapi seperti katamu—dia nggak punya pilihan. Dan aku akan memastikan kau kuberi pekerjaan yang bagus di perusahaan ayahku nanti."

​Sinting. Woojin masih membatin, tapi benaknya masih memikirkan tawaran pemuda itu. Sebagian dari dirinya seolah berteriak untuk mengiyakan permintaan Chan, toh tidak ada salahnya mengikuti permainan kecil si pemuda pirang. Otak Woojin sudah dapat memastikan keduanya akan gagal dalam perjalanan melarikan diri ini. Lalu sehabis itu, hidupnya akan terjamin.

​"Dasar gila,"

​"Enggak. Aku mulai menseriusi ucapanku barusan, Woojin."

​"Sana dinginkan kepalamu di kamar mandi, aku butuh memikirkan tawaranmu matang-matang." Woojin melempar asal beberapa potong kaus dan celana pendeknya pada pemuda pirang, yang lagi-lagi ditangkap dengan gesit. Chan terkekeh, dan menutup pintu kamar mandi.

​Woojin menghela napas lagi, memandang lekat pintu kamar mandi kusam yang tertutup sebelum tatapannya teralih ke langit-langit. Benaknya hanya terdapat satu kata yang terputar-putar terus bak kaset rusak:

​Sinting.

.

drapetomania (n.) : an overwhelming urge to run away

When the Sparks Fly  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang