viridity

193 41 2
                                    

Woojin meletakkan baskom berisi air hangat di atas meja nakas samping tempat tidur. Sahabatnya itu benar-benar terserang flu setelah mereka nekat menerobos hujan kemarin malam. Woojin menghela napas, memandang wajah tidur Chan dengan hidung yang memerah dan demam tinggi.

Padahal, mereka berencana akan mengunjungi Daegu hari ini. Woojin jadi harus merelakan keinginannya untuk berkeliling Daegu. Tapi tidak apa, karena kesehatan pemuda di hadapannya sekarang ini jauh lebih penting.

Setengah sebelas siang, dan Chan masih terlelap. Woojin dengan hati-hati mengompres kening Chan dengan kain hangat, lalu merapatkan selimut pemuda itu.

Baru saja Woojin hendak meninggalkan kamar yang mereka bagi berdua, Chan terbangun.

"Woojin," panggilnya dengan suara serak, "sekarang jam berapa?"

"Masih setengah sebelas. Istirahat aja, aku udah bilang Tae-hyung kalau kau lagi sakit." jawab Woojin, bergegas menidurkan kembali sahabatnya di kasur. Chan menggeleng, duduk bersandar pada kepala ranjang.  "Badanmu masih panas."

"Maaf, karenaku kita nggak bisa pergi jalan-jalan ke Daegu." Chan berkata dengan nada menyesal. Woojin menggeleng, kemudian mengusak rambut keriting pemuda itu.

"Daegu nggak bakal lari kemana-mana, Chan. Masih ada lain kali."

"Tapi aku jadi nggak menepati janji ...."

Woojin tersenyum. Ekspresi Chan berubah murung di balik wajahnya yang memerah karena demam. "Chan, kau lagi sakit. Mana mungkin aku maksa kalau kau bangun saja susah."

"Lagian, dari awal bukan ke Daegu yang aku inginkan." lanjut Woojin. "Tapi waktu bareng kamu. Kemana aja, di rumah juga nggak apa."

"Ngomong apa kau barusan sialan!" Chan melempar bantal kepala yang dapat dijangkaunya ke wajah Woojin. Woojin tertawa keras, hampir menjatuhkan baskom di tangannya.

"Tuh kan." Woojin menempelkan punggung tangan ke kening Chan dan menangkup kedua pipi putih milik sang sahabat. "Kau panas lagi! Bentar, kuambilkan obat."

"Lepasin aku, bodoh!"

"Penghangatnya masih menyala. Kau harus berkeringat biar cepat sembuh." Woojin menunjuk penghangat ruangan di sudut kamar, sebelum benar-benar meninggalkan Chan sendirian di kamar dengan pipi semerah tomat.

Kulkas persediaan makanan mereka kosong melompong. Woojin menghela napas, kemudian memutuskan untuk membeli beberapa bahan makanan sebelum Chan bangun dan membeli makan siang untuk dirinya sendiri.

Ponsel Woojin bergetar di dalam saku celana, membuat pemuda itu buru-buru mengecek siapa penelpon yang mengganggunya di hari libur.

Jeongyeon-nuna is calling.

-o-o-o-

Chan menggeliat tak nyaman. Hari sudah menggelap ketika bangun. Ia sudah merasa jauh lebih baik. Pemuda itu tak lagi panas, tapi hidungnya masih tersumbat dan tenggorokan yang terasa gatal.

Pemuda itu berbaring menyamping, merapatkan selimut sampai ke atas dada. Memorinya berkelebat sejak kepindahan mereka yang mendadak ke kota ini dua setengah bulan yang lalu.

Woojin yang tadinya hanya seorang teman akrab, kini berubah menjadi rumah bagi Chan. Kedekatan mereka perlahan-lahan berubah menjadi rasa saling perhatian yang nyaman, dan Chan ragu untuk mengakui bahwa ia mengharapkan lebih.

Chan menggeleng kuat-kuat, menolak keras pikiran-pikiran yang berlarian di benaknya. Ia menyangkal bahwa dirinya sekarang tertarik pada laki-laki. Bahwa ia tertarik ke dalam diri seorang Kim Woojin. Baik Taehyung atau Yoongi yang notabene telah menghabiskan waktu lebih banyak dengannya pun, ia tidak merasakan getaran itu.

When the Sparks Fly  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang