limerence

189 45 2
                                        

Suara pekikan Woojin menyentak Chan yang terbaring di atas kasur. Begitu ia membuka mata, Woojin sedang terduduk di atas kasur mereka sambil memegang ponsel. Rambutnya masih berantakan, mungkin Woojin juga baru bangun.

Chan membalik tubuhnya menghadap dinding, malu. Hal pertama yang Chan tangkap dari sosok Woojin adalah tubuh bagian atasnya polos tanpa sehelai baju, dan selimut yang acak-acakan membungkus pinggang kebawah.

Chan merasa mereka seperti habis melakukan hal-hal dewasa, mengingat kebiasaan baru Woojin untuk tidur tanpa pakaian karena katanya saat memasuki pergantian musim, udara di Gyeongsan panas.

"Chan, kau udah bangun?" Woojin menengok sebentar begitu dirasanya pemuda berambut pirang itu bergerak-gerak dibalik selimut. Chan mengerang pelan, masih menghadap dinding.

"Dengar." Woojin berkata lagi. "Iklanku akan tayang di televisi hari ini. Dan di Cheonma*, bakal ada reklame yang dipasang." cerita Woojin antusias.

Chan membalik tubuhnya, terkejut ketika wajah Woojin berada hanya beberapa senti dari wajahnya. Senyum Woojin begitu lebar, mungkin dia tidak sadar sudah terlalu dekat dengan Chan.

"Eung—aku turut senang," kata Chan dengan nada setengah-setengah. Woojin mencubit pinggang yang lebih muda, membuat Chan berteriak.

"Yak! Apa kau sinting?" Chan mengelus pinggangnya yang mungkin sudah bertanda kemerahan. Woojin tertawa puas, bangkit dari tempat tidur dan berjalan santai menuju kamar mandi. Woojin hanya memakai celana pendek diatas paha, jangan lupakan tubuh atasnya yang polos membuat Chan kini dapat melihat keseluruhan—hampir—tubuh sahabatnya itu.

Sialan. Ditambah, tubuh Woojin yang kini sedang menjalani diet ketat dan olahraga keras di gym mulai memunculkan hasil yang samar. Otot-otot mengencang sempurna tanpa harus dikeraskan oleh sang empunya. Chan meneguk ludahnya pelan.

Pemuda pirang itu ikut bangkit dari tempat tidur, mendengar Woojin yang bersenandung kecil dari dalam kamar mandi. Ia membuatkan kopi untuk mereka dan sarapan seperti biasa, kemudian menunggu Woojin untuk makan bersama dan mengantarnya sampai ke pintu depan.

Benar-benar seperti seorang istri. Chan mendengus memikirkannya kemudian mengacak rambutnya yang masih berantakan. Ia duduk di depan TV selagi menunggu Woojin sambil menyeruput kopi.

Mengganti saluran demi saluran dengan malas, tiba-tiba wajah Woojin menghiasi layar TV. Chan hampir tersedak begitu Woojin tiba-tiba muncul di layar kaca dengan seorang pria yang ia tidak tahu siapa, menawarkan produk minuman isotonik rasa stroberi dan mangga dengan kalimat-kalimat persuasif.

Chan mengulas senyum tipis, sahabatnya sama sekali tidak seperti yang ia bayangkan. Awalnya mungkin Chan tidak percaya dengan keberuntungan Woojin diterima di agensi model, ia pikir Woojin hanya bisa tersenyum kaku di depan kamera dengan keringat sebesar biji jagung jatuh dari dahi—kemudian kehilangan pekerjaannya (Chan tidak pernah senekat itu untuk bilang pada Woojin). Tapi sahabatnya di TV barusan terlihat sangat natural, seperti orang yang sudah lama menekuni bidang periklanan.

Iklan berdurasi satu menit itu sudah menghilang, diganti dengan saluran berita pagi. Mengabaikan berita-berita yang kebanyakan isinya membahas politik dan saham, Chan mematikan televisi bersamaan dengan keluarnya Woojin dari kamar mandi.

"Aku barusan lihat iklanmu—tadi muncul." Chan membuka percakapan pagi hari mereka. Woojin tersenyum canggung, mengaduk-ngaduk bubur gandum hambar di mangkuknya.

"Kau hebat, banget. Aku kira tadi itu bukan kau saking profesionalnya." Chan tertawa sambil meletakkan gelas kosongnya di bak cuci. "Serius, Woojin. Kau berbakat. Mungkin kau bisa belajar main film sekarang."

When the Sparks Fly  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang