recrudescence

242 51 6
                                    

Chan mengetuk-ngetuk kakinya ke lantai keramik selagi menunggu seseorang membukakan pintu kayu dengan pelitur halus di hadapannya.

"Seokjin-hyung!" Chan mengangkat kepala ketika pintu itu perlahan terbuka, menampilkan sosok seorang pemuda tegap berusia 35 tahun yang ia kenal sebagai suami dari bibinya, Sohee. Pria yang dipanggil Chan menyunggingkan seulas senyum, sebelum mengacak surai pirang yang lebih muda.

"Astaga, Chan! Udah lama banget sejak terakhir kau datang kemari!" Seokjin mempersilakan Chan masuk ke apartemen mewahnya. Chan mengambil tempat di sofa ruang tamu, selagi Seokjin sibuk mengacak lemari dan kulkas. Ia meletakkan segelas teh dan sepiring camilan dihadapan Chan sebelum duduk tepat di seberang pemuda itu.

"Jadi apa yang membawa keponakanku ini, hm?" Chan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, bingung harus memulai ceritanya dari mana. 

"Bertengkar lagi dengan Sihyuk-hyung?" tebak Seokjin.

Chan menggeleng, kemudian mengangguk samar. "Sebenarnya aku lari dari rumah." Kepalanya menunduk, tidak berani menatap Seokjin. Entah apa yang membuatnya begitu takut, bukan karena Seokjin juga salah satu orang kepercayaan sang ayah di perusahaan. Bukan juga takut akan dikembalikan Seokjin ke Seoul sekarang juga. "Dan aku sekarang ... tinggal di Gyeongsan."

Seokjin mendengarkan Chan dengan tenang sambil meneguk teh dalam cangkirnya. "Kau kemari untuk meminta pekerjaan padaku?" Mata Chan membola, tapi Seokjin malah tertawa keras. "Bercanda, aku tahu kau nggak sepayah itu."

"Aku bawa mobil dari ayah," kata Chan, menyesap teh dari cangkirnya pelan. "Dan aku mau minta bantuanmu—um, menjualnya."

"Astaga, kukira ada apa." Seokjin menghela napas dramatis. "Kau mau jual SUV yang baru dikasih Sihyuk-hyung bulan kemarin, maksudmu?" Chan mengangguk kecil.

"Kebetulan karyawanku ada yang mencari mobil itu. Sini! Biar aku yang beli mobilnya, nanti kujual kepada karyawanku dengan harga yang lebih murah—ah, benar Hoseok akan senang mendengarnya." Seokjin berucap pada dirinya sendiri, membuat Chan bingung menatap pamannya dengan alis berkerut.

"Serius, hyung?" Chan berkata tidak percaya, Seokjin mengangguk. "Omong-omong apa kau akan bilang ke ayahku soal ini? Dia bahkan nggak tau aku ada disini."

Seokjin menatap pemuda itu dengan lembut. "Mungkin, kalau kau udah keterlaluan." Dia terkekeh pelan, "Tapi kurasa kabur dari Sihyuk-hyung bukan ide buruk. Kau pasti capek dikekang dan dibombardir terus dengan pertanyaan mau atau tidak jadi penerus perusahaannya kan? Aku tahu kau nggak suka, jadi kurasa sekarang saat yang tepat buatmu untuk merasakan dunia yang sesungguhnya."

"Berjanjilah, kau nggak akan ngelakuin hal-hal yang melanggar hukum. Apalagi jika kau membawa nama keluarga kita. Dan kalau kau menyerah pada akhirnya, tolong kabari aku biar aku antar kau ke Seoul sambil tertawa keras-keras." Seokjin bangkit dari tempat duduknya, merapikan kemeja yang sedikit berantakan selagi Chan memutar bola matanya. "Aku mau ke kantor sekarang, nanti uangnya kutransfer ke rekeningmu."

"Setelat ini?" Chan bertanya bingung, melirik jam dinding besar di hadapannya yang sudah menunjukkan pukul setengah sebelas siang. "Kau nggak akan dimarahi, hyung?"

Seokjin tertawa pelan. "Siapa yang berani memarahi bosnya sendiri?" jawabnya. "Hari ini aku nggak sibuk. Kalau kau kerja, usahakan jangan sampai telat!" Baru saja tangan Seokjin beralih ingin memegang gagang pintu, pintu itu terbuka lebar menampilkan sosok bibi dan neneknya yang terkejut melihat Chan.

"Chan—astaga!" Sohee menghambur memeluk Chan, mengecup pipinya singkat. Chan balas memeluk bibi dan neneknya. Perut bibinya membuncit, menandakan ia sudah hamil beberapa bulan. "Tumben kau datang kemari."

When the Sparks Fly  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang