reverie

144 27 0
                                        

.

Restoran yang dimaksud Jihyo hanyalah sebuah tempat makan sederhana di dekat gang yang tak jauh dari kafe Yoongi. Restoran itu memiliki meja dan kursi yang diletakkan di luar, dinaungi oleh tenda besar untuk orang-orang yang sebagian besar merokok. Chan dan Jihyo mengambil tempat di meja terujung yang paling dekat dengan trotoar—tepat di bawah tenda.

"Sepulang kantor biasa aku dan teman-temanku minum di sini." Jihyo membuka percakapan setelah mereka memesan daging dan soju. "Teman-temanku suka kemari karena boleh nambah nasi gratis." Gadis itu kemudian tertawa.

"Aku malah baru tahu," sahut Chan, matanya menelisik ke setiap sudut restoran yang mulai dipadati dengan pengunjung. Seseorang malah bahkan sudah tidur menelungkup di atas meja dengan wajah memerah. Baru pukul setengah tujuh malam dan sudah ada yang mabuk.

"Sebenarnya aku senang karena kau mau menemaniku ke sini." Sebotol soju dan dua buah gelas beling kecil sudah diletakkan di atas meja, Jihyo menuangkan sedikit dari botolnya ke gelas Chan sebelum menuang soju untuknya sendiri. "Teman-temanku kebanyakan nggak kuat minum."

"Bagaimana denganmu, nuna?" Chan tersenyum kecil. "Apa kau kuat minum?"

Jihyo tertawa keras, sampai-sampai ia harus menutup mulut untuk meredam tawanya. Seolah pertanyaan Chan barusan adalah hal terlucu sedunia. "Kalau begitu, ayo kita buktikan siapa yang paling kuat minum." tantang gadis itu.

"Aku nggak akan kalah."

Lemak yang beradu dengan permukaan panas seketika mengeluarkan bunyi mendesis ketika mereka mulai memasukkan irisan-irisan tipis daging ke atas pemanggang. Keduanya terdiam, membuat suara desisan itu menjadi satu-satunya pemecah keheningan di antara mereka. Jihyo makan dengan tenang, tapi Chan dapat melihat sorot kosong yang ditunjukkan gadis itu secara terang-terangan.

"Kau ... masih kepikiran soal mantan pacarmu itu, nuna?"

Gadis itu tersentak, kemudian tersenyum tipis. "Iya, aku ingat dulu pernah janji untuk membawanya makan di sini. Lagian, kami baru putus beberapa hari—mana mungkin bisa lupa secepat itu."

"Kau benar, maafkan aku nuna." Chan menyempatkan diri mengulas senyum canggung, sebelum memakan dagingnya dalam satu suapan besar. Jihyo tertawa melihat reaksi Chan.

"Dasar, kayaknya nggak ada kata-kata lain selain 'maaf' yang bisa keluar dari mulutmu, ya?" Gadis itu meneguk soju di dalam gelasnya sampai habis. "Kau sendiri, jadi siapa pemuda yang kemarin di halte?"

"Satu gelas untuk satu pertanyaan." Chan mengangkat gelasnya ke arah gadis itu. "Setuju?"

"Oke."

"Dia sahabatku," kata Chan sambil menuangkan soju ke gelas Jihyo, dan langsung ditenggak habis oleh yang lebih tua. "Kami tinggal bareng."

"Begitu." Jihyo mengangguk-anggukkan kepalanya. "Jadi kau menyukainya lebih dari sahabat?"

"Entahlah, nuna. Kurasa ada yang salah dengan diriku." Chan mengangkat bahu, memperhatikan Jihyo yang minum soju dengan sekali teguk seperti meminum air biasa. "Bagaimana kau bisa ketemu dengan Nayeon-nuna?"

Jihyo menuangkan soju ke gelas Chan. "Kami teman sejak SMA, dia seniorku di klub tenis. Nayeon satu tahun lebih tua dariku."

"Bagaimana akhirnya kautahu kalau kau ... suka sesama jenis?" Chan meminum sojunya perlahan-lahan. Jihyo tersenyum kecil, soju di dalam botol telah habis sehingga keduanya memutuskan untuk memesan beberapa botol lagi.

"Yah, waktu itu klub tenis di sekolahku punya jadwal latihan yang padat. Jadi, kami menghabiskan waktu banyak banget berdua."

"Lalu kau memutuskan untuk menyukai Nayeon-nuna?"

When the Sparks Fly  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang