spin-off

222 36 7
                                        

.

Lima bulan setelah kepulangannya ke Seoul masih belum membuahkan hasil. Chan masih benar-benar belum bisa melupakan Woojin begitu saja.  Woojin adalah satu-satunya orang yang mengisi hidupnya selama tujuh tahun terakhir, sekaligus orang yang benar-benar ia cintai untuk pertama kalinya.

Musim semi, di mana mereka memutuskan untuk melarikan diri ke Gyeongsan satu tahun yang lalu. Chan masih ingat betul ekspresi terkejut Woojin begitu ia mengutarakan ide yang bahkan belum sempat dipikirkan matang-matang. Tapi akhirnya, Woojin juga memutuskan ikut karena katanya tidak mau membiarkan Chan sengsara sendirian.

Ah ... mengingat hal itu malah membuat Chan merindukan Woojin.

Tapi persetan dengan perasaan konyol itu. Sisi positifnya, hubungan ia dan sang ayah membaik sangat jauh. Pria itu juga tidak lagi mengekangnya seperti dulu. Dan mulai semester besok ia akan kuliah bisnis sambil mempelajari cara mengurus perusahaan. Agak terlambat, memang. Tapi tidak apa.

Mabuk adalah pilihan pertama yang Chan ambil untuk melupakan kenangan-kenangan tentang Woojin yang lewat di kepalanya dengan kurang ajar. Ia tidak tahu sudah berapa kali ia kedapatan tengah meminum alkohol sampai koleps di rumah oleh sang ayah, dan berakhir diceramahi panjang lebar oleh pria itu.

Hingar-bingar kelab malam yang terletak di pinggir jalan itu bahkan terdengar dari kejauhan. Sangat kontras dengan deretan ruko sepi di sebelah kanan dan kirinya. Chan tahu tempat ini dari salah seorang seniornya di klub sepak bola semasa SMA, dan sebelum pindah ia sudah sering menginjakkan kaki di tempat ini pula.

Pria penjaga keamanan kelab menunduk singkat setelah mempersilakan pemuda itu masuk ke dalam. Aroma alkohol langsung menguar menusuk hidung, tapi Chan mengabaikannya. Ia melangkahkan kaki ke sebuah meja bar dengan kursi-kursi tinggi, tempat di mana seorang bartender berdiri di baliknya sambil membuat berbagai pesanan alkohol.

Chan mengeluarkan dua lembar uang lima puluh ribu won dari sakunya kepada bartender tersebut. "Tequila," katanya. Ia ingin mabuk malam ini. Persetan dengan tubuhnya yang meronta minta dikasihani.

Chan kacau. Ia benar-benar ingin melupakan perasaannya, tapi hatinya seolah menolak keras dan membuat ia malah semakin mengingat Woojin. Ia merindukan obrolan-obrolan ringan yang mereka lakukan saat sarapan, dan sentuhan-sentuhan lembut pemuda itu.

"Woojin brengsek!" Chan mengumpat pada diri sendiri, mengabaikan tatapan-tatapan orang di sekitar yang mulai terarah kepadanya. Ia jadi teringat malam terakhir ia bertemu dengan Woojin, sentuhan lembut dan seks yang ternyata membawa malapetaka dalam hubungan persahabatan mereka selama tujuh tahun.

"Dasar bajingan!" Chan mentertawakan diri sendiri, sambil menenggak alkohol yang disuguhkan sang bartender.

Suara orang-orang mabuk mulai terdengar sampai ke telinga Chan. Para wanita berpakaian seksi—yang menurut Chan sama sekali tidak menggoda—mulai menggoda sana-sini dari satu meja ke meja lain. Chan membuang muka malas.

"Kau Bang Chan?"

Chan menolehkan kepala, mendapati seorang pemuda tengah berdiri di hadapannya dengan tatapan kaget. Kim Byeongkwan, seniornya di klub sepak bola. Ini adalah kali pertama mereka bertemu setelah Byeongkwan lulus SMA lima tahun yang lalu. Sejak saat itu mereka hanya saling bertukar kabar lewat SNS, dan Chan lupa sama sekali untuk mengabari Byeongkwan soal kepindahannya yang mendadak ke Gyeongsan.

"Sunbae?"

"Sudah, kita udah bukan lagi senior atau junior di klub sepak bola atau di sekolahan. Panggil aja hyung." Byeongkwan mengisyaratkan pemuda itu pindah ke salah satu meja yang telah dipesannya. Chan mengikuti dari belakang.

When the Sparks Fly  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang