ethereal

256 46 30
                                    

Suara alarm berdering nyaring tepat di samping telinga Chan. Pemuda bersurai pirang itu mengerjap pelan, mematikan benda yang membangunkannya itu sambil mengumpat dan menghela napas.

Tubuh Chan bergerak kaku untuk berbaring menyamping. Sebelah tangan ditumpukan untuk menahan kepalanya yang masih berat dan kini ia menghadap punggung Woojin. Mereka kesulitan tidur dua hari belakangan, selain karena ranjang kapuk sempit yang harus dibagi berdua, udara di Gyeongsan dapat dikatakan dingin membuat mereka berebutan sehelai selimut yang ditinggalkan nenek Chan.

Woojin terlelap di samping Chan, tampak tidak terganggu sama sekali dengan suara alarm. Chan ingat janji Woojin datang ke agensi yang menawarinya menjadi model pagi nanti pukul sepuluh. Woojin mungkin akan kehilangan kesempatannya jika ia tidak dibangunkan sekarang, pikir Chan.

"Woojin." Chan mengusap punggung lebar pemuda yang tidur membelakanginya. "Bangun atau kau bakalan telat."

Woojin menggeliat, menggeram pelan dan membalik posisi tidurnya menghadap Chan tanpa sekalipun berniat untuk membuka mata. Chan menghela napas, atensinya teralih pada guratan wajah Woojin yang tepat berada di hadapannya.

Sial, Chan tidak pernah menyadari jika Kim Woojin memang setampan itu. Dengan alis yang tebal, hidung mancung, dan rahang tegas membingkai wajahnya dengan sempurna. Rambut kelam yang acak-acakan menambah kesan menarik yang berbeda bagi Chan, membuat ia kini yakin kenapa manajer bernama Kim Namjoon itu memilih Woojin sebagai model.

Bahkan Woojin dengan wajah yang mengantuk masih sukses memukau Chan. Pemuda pirang itu meneguk ludah dengan susah payah.

Ia tidak pernah memiliki ketertarikan seksual pada laki-laki manapun. Tapi untuk kasus kali ini, Chan akui Woojin sangat tampan.

"Woojin," panggil Chan sekali lagi. Woojin akhirnya membuka mata perlahan. "Kau bakal telat." Chan mengulang.

"Astaga—jam berapa ini Chan?" Woojin terperanjat, mendudukan diri dan bersandar pada tepian ranjang. Kepalanya berputar hebat begitu ia memaksakan diri untuk berdiri. Woojin melirik jam di atas nakas, hampir pukul setengah delapan.

"Untung kau membangunkanku!" Woojin menyambar handuk dan berlari kecil menuju kamar mandi. Chan memutar bola mata malas, ikut menyingkap selimut tipis yang membungkus tubuh mereka dan beranjak menuju dapur.

Aroma kopi menguar ketika Chan mulai menyeduh dua cangkir kopi instan untuk mereka berdua dan membuat beberapa tangkup roti berselai stroberi untuk sarapannya. Hasil pemberian Seokjin yang terkejut setengah mati begitu Chan bilang mereka tidak membawa apapun dari Seoul.

Kalau dipikir mungkin mereka juga bodoh, berpergian jauh hanya membawa pakaian seadanya. Segalanya serba kekurangan begitu mereka tiba di Gyeongsan dan mereka hampir tidak punya sabun untuk mandi. Chan tertawa pelan, menggigit roti tawarnya dalam diam.

Woojin mengambil tempat tak lama setelah keluar bertelanjang dada dari kamar mandi, handuk masih bertengger di lehernya, serta rambut legam yang masih basah. Titik-titik air berjatuhan dari rambut Woojin ke celana jeans biru yang mulai memudar.

Sial, umpat Chan dalam hati sekali lagi. Chan sudah sering menginap di tempat Woojin, tapi ia belum pernah merasa seintim ini dengan sahabatnya.

Woojin menyeruput kopi pagi yang disuguhkan Chan dengan santai, membiarkan Chan mengamatinya dari ujung kepala hingga ujung kaki tanpa merasa terganggu.

"Chan, menurutmu aku bakal berhasil nggak?" Woojin meraih roti berselai dari atas piring, menggigitnya perlahan.

"Ten—tentu aja! Duh, kau bertanya padaku seolah aku paham dengan hal-hal seperti itu saja!" jawab Chan gugup sambil mengerang, baru saja tersadar dari lamunan tololnya. Woojin terbahak.

When the Sparks Fly  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang