querencia

260 60 8
                                        

Chan dalam hati harus bersyukur memiliki Woojin di sisinya. Pemuda itu tengah membantunya membereskan rumah penuh debu peninggalan neneknya, serta menata beberapa barang yang teronggok asal. Ia membayangkan jika tidak ada Woojin mungkin dia sudah masa bodoh dan tidur di atas kasur kapuk berdebu dengan kondisi rumah seperti kapal pecah.

"Kamarnya cuma ada satu." Woojin keluar dari satu-satunya ruangan di sebelah ruang tengah dengan masker debu dan sapu di tangan kanannya, "Nanti aku tidur di sofa aja. Kau masuklah ke dalam, kamarnya udah rapi—untung halmeonimu masih menyisakan tempat tidur dan selimut buat kita."

"Enggak, kita bareng aja." Chan berkata cepat, "kenapa kau harus tidur di sofa segala." Tangannya sibuk memindahkan beberapa boks ke sudut ruangan, kemudian menggeser meja kayu reyot ke sisi lainnya. Bunyi deritan kaki meja dengan lantai kayu menggema di seluruh rumah dua lantai itu. Woojin hanya mengangguk mengiyakan, kemudian kembali membereskan perabotan-perabotan tersisa.

Untuk beberapa saat ke depan, tempat inilah yang akan menjadi naungan mereka berdua. Saat ini Chan hanya punya Woojin, persetan dengan ayahnya. Ponselnya sudah dibuang jauh-jauh (sebenarnya ditinggal di toilet toko kelontong yang mereka kunjungi ketika dalam perjalanan menuju Gyeongsan) agar ayahnya tidak lagi menghubunginya.

Persetan juga dengan apa yang akan mereka lakukan untuk bertahan hidup, setidaknya mulai hari ini mereka harus membiasakan diri dengan satu sama lain.

Hari masih pagi ketika mereka selesai membereskan rumah nenek Chan. Pencapaian ini belum terhitung membereskan sisa toko kue di lantai bawah, menutup kaca jendela besarnya dengan tirai—atau kain apapun yang dapat mereka temukan, serta memikirkan langkah mereka selama tinggal di Gyeongsan. Chan mendudukkan diri di atas sofa usang, mengelap peluh di pelipis dan menghela napas panjang.

Perut Chan berbunyi nyaring sampai-sampai Woojin dapat mendengarnya. Woojin terbahak, tapi tidak dapat dipungkiri kalau ia juga lapar. "Kita berdua lapar, dan aku cuma punya ramen instan." Woojin mengeluarkan belanjaan yang masih tersimpan rapi di kantung plastik. "Aku buatkan untukmu—jangan protes mau makan yang enak."

Chan mendelik, "Aku nggak selalu makan enak." Dia berdalih, bangkit dan mulai mencari-cari panci dari deretan lemari dapur yang menyatu dengan ruang tengah selagi Woojin menyiapkan ramen di atas meja. "Untung air dan listrik masih menyala."

Sesaat kemudian dua cup ramen yang asapnya masih mengepul sudah tersedia di atas meja. Chan dan Woojin menarik bangku dan duduk saling berhadapan, menggumamkan doa singkat sebelum menyantap ramen instan mereka dengan lahap.

"Kau tahu, Chan. Kayaknya aku mulai suka kota kecil ini," kata Woojin di sela-sela kegiatan makan mereka. Ia mengaduk-aduk ramennya yang mulai mendingin dengan sumpit. "Kota ini tenang, sekaligus teratur. Aku suka keteraturan, kadang kau nggak perlu bingung harus melakukan apa karena semuanya udah terekam di otakmu bakal begini dan begitu. Mungkin awalnya ngebosenin—tapi aku merasa punya pegangan."

"Aku setuju."

"Dan aku kepikiran buat ... cari kerja disini, bagaimana?" Woojin menatap Chan seolah meminta persetujuan pemuda berambut pirang itu. Chan mengangguk kecil.

"Kayaknya aku juga bakal gitu—kau kira aku cuma bakal duduk di rumah sambil nonton TV selagi nunggu kau pulang kerja?" Chan mendengus.

"Kautahu, semula kupikir kita bakal menyetir nggak tentu arah sampai bensinmu habis dan kita harus jual mobil buat bertahan hidup dari satu kota ke kota lain." Woojin tertawa kecil.

"Aku baru kepikiran itu," balas Chan sukses membuat Woojin menghentikan tawanya dan menatap lurus-lurus padanya. Tatapan Woojin padanya seolah bertanya bagian mana yang Chan pikirkan—hidup luntang-lantung dari satu kota ke kota lain atau menjual mobil Chan?

When the Sparks Fly  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang