[03.01]

850 32 0
                                    

Chapter THREE: Infatuation

'There is no escape from this darkness; the more I love the deeper I fall'


"Kurasa aku jatuh cinta."

Sahabatku Nicholl, tertawa.

"Setelah menyesatkan begitu banyak wanita?" timpalnya.

Nicholl beranjak dari sofa menuju area dapur, kembali beberapa waktu kemudian membawa sebuah botol anggur merah dan dua gelas kaca.

"Siapa yang telah memikat hatimu?"

"Seorang malaikat," gumamku.

"Hah?"

Nicholl terbahak.

"Aku tidak main-main!"

Ia mengangkat alis, memandangku sejenak sebelum meletakkan gelas anggur pada meja kaca dekat sofa.

"Kau mengatakan hal yang sama saat pertama kali melihat Rochelle—"

"Kali ini berbeda," tandasku.

"Berani bertaruh?"

Aku mengernyitkan dahi, tidak menanggapi tantangan tersebut.

Sahabatku menuangkan anggur merah ke dalam kedua gelas di hadapan kami, duduk pada sofa sambil menyesap anggurnya.

Aku mengambil gelas di meja, mengamati pekat merah anggur yang sewarna rambut Nicholl. Ketika aku berpaling pada sosok sahabatku, ia sudah mengisi kembali gelasnya hingga penuh.

Nicholl tertegun, memutar perlahan gelas anggur di tangannya.

Raut wajahnya suram,

Lingkar hitam di bawah matanya jelas terlihat...

Dalam temaram pencahayaan ruangan, sosoknya tampak begitu ringkih, seakan jauh lebih tua daripada semestinya.

"Apa yang terjadi padamu?"

Nicholl tertawa getir, menghabiskan anggurnya dalam sekali teguk.

Ia mengisi kembali gelas tersebut, bersandar pada sofa sambil menyesap anggur perlahan.

"Kau harus lebih mengkhawatirkan dirimu sendiri," ujar sahabatku.

"Wanita adalah makhluk yang mengerikan," timpalnya. "Terus mempermainkan mereka dan aku takkan heran apabila suatu saat nanti kau berakhir ditikam salah satu gadismu."

Aku menghela napas panjang.

"Kalau aku sampai bernasib seperti itu, semua adalah salahmu," gerutuku.

Kata-kataku disambut kilas tatapan miris.

Nicholl menenggak habis anggur merah dalam gelas dan beranjak untuk meraih botol anggur di hadapan kami, namun aku merebut botol tersebut dari tangannya.

"Berikan padaku!"

"Tidak," tukasku. "Sudah cukup."

"Hei!"

Aku mengelak saat Nicholl mencoba merebut kembali botol anggurnya, berusaha menghindar ketika ia jatuh menimpa tubuhku.

Pergelutan kami berakhir.

Aku terbaring di atas sofa, terhimpit tubuh sahabatku. Botol anggur merah terlepas dari genggaman tanganku, jatuh menggelinding dan terantuk kaki meja.

Kemudian, aku melihatnya: terserak keluar bersama tumpukan majalah lusuh pada rak kayu di bawah meja, poster seorang gadis.

Tubuhku membeku.

Gadis di dalam poster memiliki mata biru yang jernih, persis seperti Kyra. Sosok mereka hampir serupa, yang membedakan hanyalah warna kulit yang jauh lebih pucat, serta ikal keemasan rambutnya.

Aku mengulurkan tangan, namun Nicholl mengambil poster mendahuluiku.

Ia bersandar pada kaki sofa, tertegun memandang gadis dalam poster.

"Kau mengenalnya?" tanyaku.

Aku beranjak perlahan, duduk bersandar di sebelah sahabatku.

"Abigail," ujarnya lirih.

"Seorang model? Pemain film?"

Aku meraih poster di tangannya, mengamati lebih dekat.

"Kenalan ayahku," sahut Nicholl. "Mengapa bertanya?"

"Selidiki latar belakang gadis ini," tandasku.

Nicholl tersenyum getir.

"Gadis ini sudah lama meninggal," timpalnya. "Akan kuusahakan, tapi jangan terlalu berharap."

"Terima kasih," gumamku sambil menepuk bahu Nicholl.

Aku bangkit berdiri, meninggalkan poster di atas meja.

"Kau harus mengubah kebiasaan minum-minum—"

"Akan kulakukan saat kau berhenti mempermainkan perasaan wanita," tukas sahabatku.

Mendengar jawaban tersebut, aku tersenyum.

Nicholl ikut tersenyum, melambaikan tangan ketika aku melangkah menuju pintu keluar.

Terdapat sesuatu yang istimewa dalam persahabatan kami, sesuatu yang lebih erat dari ikatan darah. Keberadaan sahabatku begitu berarti, jauh melebihi keluarga yang menghuni kediaman ayahku.

ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang