Aku berdiri di belakang pagar pembatas lapangan, mengamati para pemain dalam kegiatan olahraga mereka. Ketika menyadari kehadiranku, salah seorang pelompat galah melambaikan tangan, menghampiri dengan penuh semangat. Gairah kehidupan terpancar dari rekah senyumnya, membuatku ikut tersenyum.
"Sedang apa kau? Masuk saja," desaknya.
Aku hanya terdiam, memperlihatkan seulas senyum yang sedikit dipaksakan.
"Masih menjadi pramusaji kafe?" ia bertanya, memandangku dari balik pagar pembatas.
"Bagaimana kabar Lenny?"
Aku mengangkat alis.
"Siapa?"
"Eugene," ujarnya menjelaskan. " Manajermu, Eugene Lennox."
Sebelum aku memberikan tanggapan, terdengar seruan dari lapangan.
"Alex!"
Beberapa pemain lompat galah berseru memanggil dirinya.
"Giliranmu! Apa dilewat saja?"
Alex berpaling dariku.
"Enak saja melewat giliranku," tukasnya.
"Tunggu sebentar!"
Pada waktu Alex kembali menatapku, senyumnya memudar.
"Aku harus berlatih bersama yang lain."
Ia mengakhiri pembicaraan, meninggalkanku di balik pagar pembatas lapangan olahraga.
Kenalanku, Alex, merupakan satu-satunya perempuan di antara para pelompat galah, tetapi dengan tinggi tubuh yang melebihi sebagian besar pemain, ia seringkali dikira lelaki. Pakaiannya tidak menampilkan sisi kewanitaan. Terlebih, rambutnya yang keemasan hampir selalu dipotong pendek.
Aku mengamati Alex melakukan beberapa lompatan. Kemudian, pikiranku melayang ke masa silam. Duniaku saat itu terasa menyesakkan, dan ketika segalanya menjadi tidak tertahankan, aku pergi dari rumah.
Sepanjang hari melangkah tanpa tujuan. Pada waktu melewati lapangan olahraga, aku melihat dirinya: siluet anggun di bawah naungan cahaya senja, Alexandra Traumondt.
Itulah awal pertemuanku dengan Alex, seseorang yang memperkenalkan diriku pada permainan lompat galah. Sosoknya ketika berlari begitu memukau, bagai seekor binatang buas. Hingga kini suasana di lapangan tersebut masih tak lekang dari ingatan, sebuah kenangan yang memaksaku tetap hidup.
"Yakin tak mau ikut berlatih?"
Aku tersentak dari lamunan, menemukan Alex berdiri di hadapanku.
"Sudah cukup lama kau berada di sana-"
"Bolehkah aku latihan bersama kalian?" tanyaku.
Alex memandangku sejenak; kemudian, senyumnya merekah.
"Ikutlah denganku."
Gadis itu membawaku menuju ruang ganti pemain, di mana loker-loker berdampingan menutupi dinding. Ia meminjamkan sepatu olahraganya padaku, juga pakaian ganti dan handuk.
"Temui aku di lapangan," tandasnya sebelum meninggalkan diriku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Obsession
RomanceLeondre dapat dengan mudah memperoleh apapun, hingga suatu senja di mana ia menemukan belahan jiwa yang menolak menjadi kepunyaannya. Terjerumus dalam jeratan asmara, pemuda itu terus mengejar Kyra, gadis impiannya. Semakin besar penolakan yang ia...