[02.05]

1.2K 36 0
                                    

Di bawah temaram senja aku bernaung, memandang arena lompat galah dalam nuansa kemerahan. Napasku memburu; peluh menetes perlahan dari pelipisku. Akan tetapi, hatiku begitu bersukacita, dipenuhi luapan kegembiraan yang tidak terjelaskan.

Aku tersenyum getir, menengadah menatap langit.

Euforia yang kurasakan hanyalah sebuah ilusi kebahagiaan, takkan pernah melampaui kesenangan sesaat.

Ketika aku berpaling, pandanganku terpaku pada kertas-kertas sketsa dalam hembusan angin. Seorang pria datang menghampiriku, sesekali membungkuk untuk mengambil kertas yang berjatuhan.

Aku mengumpulkan lembar-lembar kertas di sekitarku, menyerahkan pada pria itu semua yang dapat kuraih. Tanpa menghiraukan pemberian tersebut, ia menggapai lenganku, menarik diriku ke dalam pelukannya.

Kertas-kertas dalam genggamanku terlepas dan kembali berjatuhan.

Aku meronta, berusaha melepaskan diri, namun ketika ia membiarkanku pergi, tubuhku membeku. Dalam keremangan senja, sosoknya yang samar begitu menggugah, tak lekang dari ingatan.

Kilas kemerahan menerangi wajah pria tersebut, hanya sesaat, tetapi di bawah naungan cahaya, aku melihat matanya berkilau penuh kerinduan. Kemudian, aku menyadari siapa dirinya, pemuda berambut gelap yang pernah berkunjung ke kafe, seseorang dengan mata hijau yang berkesan.

"Kyra!"

Alex melambaikan tangan dari seberang lapangan, datang membawa dua botol air mineral. Saat perhatianku kembali, pemuda itu telah melangkah pergi. Sosoknya perlahan menjauh, meninggalkan diriku bersama kertas-kertas yang berserakan.

"Kenalanmu?" Alex bertanya, menyaksikan kepergian pemuda tersebut.

"Tidak juga," jawabku lirih.

"Hmm..."

"Kukira dia kenalanmu," gumamnya sambil memberikan salah satu botol air mineral padaku.

"Bukankah kalian sempat berpelukan?"

Aku terdiam, berusaha menemukan penjelasan yang logis.

"Tidak ada hubungannya denganku sih dia kenalanmu atau bukan," komentar Alex. "Hanya saja, akhir-akhir ini pria itu sering terlihat duduk di kursi penonton."

"Menunggu seseorang, mungkin?"

"Entahlah," sahutku.

Aku memandang kertas-kertas yang berserakan di sekitarku, mengernyitkan dahi melihat sketsa para pemain lompat galah dalam berbagai gaya lompatan. Pada waktu aku meraih salah satu kertas tersebut, Alex ikut mengumpulkan yang lain.

"Aku akan pergi ke kafe bersamamu," tandasnya saat menyerahkan beberapa lembar kertas padaku.

"Untuk apa?" tanyaku.

"Aku ingin bertemu Lenny..."

Alex tersenyum getir, mengalihkan pandangan ke arena lompat galah.

"Sudah lama aku tidak berkunjung," timpalnya.

Aku tertegun menatap gadis itu, menemukan kepedihan yang samar dalam sorot matanya.

"Kita akan pergi setelah berganti pakaian," ujarku mengakhiri pembicaraan.

Di depan arena lompat galah aku meninggalkan Alex, mendahului dirinya menuju ruang ganti pemain.

ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang