[04.05]

664 15 0
                                    

"Pertama kali kau mengundangku bertemu seperti ini," komentar Leon.

Ia tersenyum padaku, memandang dari seberang meja dengan raut wajah terkesan. Dua cangkir kopi berjajar di hadapan kami, mengeluarkan pekat aroma yang menyebar perlahan.

Aku meletakkan sebuah surat di atas meja.

Leon duduk dalam diam, terpaku melihat nama yang tertera pada surat.

"Permohonan maaf Nicholl..."

Pemuda itu tertawa getir.

"Seharusnya akulah yang minta maaf," gumamnya.

"Aku yang meminta Nicholl menyelidiki latar belakangmu—"

"Kau tidak percaya padaku?"

"Bukan begitu!" tukas Leon.

Aku mengernyitkan dahi, menunggu penjelasan darinya, namun pemuda itu berpaling ke arah lain tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

"Sudahlah," tandasku sambil beranjak dari kursi.

Leon menarik lenganku, ikut bangkit berdiri.

"Maafkan aku," ujarnya lirih.

Pemuda itu kembali menatapku, memperlihatkan seulas senyum yang penuh penyesalan.

Dengan kikuk aku melepaskan genggaman tangannya.

"Jika sudah tidak ada yang perlu dibicarakan—"

"Apa kau dapat meluangkan sedikit waktu untukku?" tanya Leon.

"Aku ingin menunjukkan lukisan potretmu yang selesai pekan lalu."

Saat pandangan kami bertemu, aku menunduk, tak tahu bagaimana harus menanggapi dirinya.

"Kau tidak bisa?"

Aku terdiam, berusaha menemukan alasan penolakan yang logis.

"Hari ini tak ada kerja paruh waktu," gumamku.

"Jadi? Datanglah ke rumah," desak Leon.

Ia menenggak habis sisa kopi dalam cangkir, meninggalkan sejumlah uang di atas meja.

"Ayo pergi!" pemuda itu berseru, mengulurkan tangan padaku.

Kilas keceriaan terpancar dari rekah senyumnya, membuatku ikut tersenyum.

Aku mengangguk pelan, menyambut uluran tangan tersebut.

ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang