[04.03]

627 11 0
                                    

Dalam hawa dingin yang kian menusuk, aku mendekap tubuhku, menyusuri area pertokoan yang sepi. Rekah fajar samar terlihat; hari masih terlalu awal, namun pâtisserie di ujung jalan sudah mulai berkegiatan.

Pâtisserie tersebut begitu mudah dikenali, menarik perhatian bahkan dari kejauhan. Tampilan luarnya menyerupai rumah boneka, dengan etalase kaca berhiaskan sulur-sulur tanaman, serta beberapa pot gantung menyambut di pintu masuk.

Aku mempercepat langkah menghampiri pâtisserie, melewati sisi bangunan menuju pintu belakang. Aroma roti menyebar di sekitarku, semakin pekat saat Keenan membuka pintu. Pria itu menahan pintu setengah terbuka, masih berbicara dengan seseorang. Ia keluar beberapa waktu kemudian, membawa minuman hangat dalam gelas karton.

"Kopi?"

"Cokelat panas," sahut Keenan sambil memberikannya padaku.

Pria itu mengernyitkan dahi ketika tangan kami bersentuhan.

"Kau... Dingin sekali!" tukasnya.

"Sebentar kuambilkan jaket—"

"Tidak perlu," tandasku.

Keenan berbalik menatapku, terpaku melihat tas kertas yang kubawa.

"Pakaian ganti dan beberapa mantel," ujarku menjelaskan.

Seulas senyum merekah di wajah pamanku.

Ia meraih tas itu, menggumamkan terima kasih dan mulai merogoh isinya.

Saat semilir angin menerpa, aku menunduk.

Kabut pagi telah menipis, namun hawa dingin masih begitu menusuk.

"Hangatkan tubuhmu."

Aku tersentak mendengar suara Keenan, disambut pelukan hangat tanpa sempat mengelak. Ia melilitkan syal putih di leherku, syal rajutan yang belum pernah kulihat.

Perlahan aku melepaskan diri dari dekapan tersebut.

Keenan berpaling ketika pandangan kami bertemu. Dengan kikuk ia bergerak menjauh, menjejalkan helai-helai pakaian yang terserak keluar kembali ke dalam tas kertas.

"Kau baik-baik saja?" tanyaku.

Pria itu tidak menjawab, hanya menoleh ketika aku berpamitan.

"Kerja paruh waktu?"

"Bukankah masih terlalu awal?" timpalnya.

"Tak masalah," sahutku. "Aku akan menunggu hingga kafe buka."

"Mengapa tidak menunggu di sini?" desak Keenan.

"Bersamaku..."

Aku tertegun, sejenak memandang dirinya.

"Baiklah," gumamku.

Untuk waktu yang lama, kami hanya berdiri bersisian.

"Kudengar kau menolak beasiswa olahraga dari perguruan tinggi ternama."

Suara Keenan memecah keheningan.

Aku menunduk dalam diam, tak berniat meneruskan pembicaraan.

Ia adalah orang terakhir yang kuharapkan mendengar berita tersebut.

"Pihak sekolah menghubungiku tempo hari," ujar Keenan kemudian.

Kegelisahan perlahan memenuhi benakku.

Aku menghela napas.

"Seorang teman mendaftarkan tanpa sepengetahuanku..."

Kata-kataku terputus saat Keenan mendekat.

Pria itu membuatku menengadah, tak lagi dapat menghindari tatapannya.

"Mengapa kau tidak pernah mengatakan apapun padaku?" tukasnya. "Bukankah kita keluarga?"

"Tanyakanlah dirimu sendiri!"

Aku menepis lengan Keenan, melemparkan kumpulan berkas lusuh ke hadapannya. Potongan-potongan surat kabar berjatuhan, mengungkap berita kematian orang tuaku.

"Delapan tahun," pekikku.

"Delapan tahun dan tak sekalipun kau membahasnya!"

Keenan tidak menghiraukan perkataanku, terdiam memandang potongan-potongan berita yang berserakan. Ia meraih salah satu potongan tersebut, mengernyitkan dahi melihat foto kobaran api dalam tajuk utama berita.

"Keenan," ujarku lirih.

"Apakah ini alasanmu mengambil tanggung jawab sebagai waliku? Apakah ini alasan tak pernah membiarkanku kembali ke rumah?"

"Seharusnya kau mengetahui alasanku," desis Keenan.

Pria itu berpaling dariku, meremas berita di tangannya.

"Aku harus kembali bekerja..."

Keenan mengakhiri pembicaraan, melangkah ke dalam pâtisserie. Ia menghilang di balik pintu belakang, meninggalkanku seorang diri.

Sesuatu mulai retak di dalam diriku, bagai serpihan yang takkan pernah utuh kembali.

ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang