Sejak menginjakkan kaki di lobi, Jimin langsung menjadi pusat perhatian. Bukan karena pria itu datang membawa unta atau memakai kostum ultraman. Tapi karena luka-luka di wajahnya yang meskipun tidak diperban lagi, tetapi masih bisa dilihat jelas karena plester di sana-sini.
Direktur Utama Sementara itu mungkin jadi terlihat seperti preman di mata karyawan lain, apalagi dengan wajah datar, tatapan tajam yang menyeramkan itu.
"Yo, Jim. Pagi," Taehyung muncul, menepuk bahu Jimin ringan dan merangkul bahu Jimin dengan cengiran lebar.
"Hmm," Jimin hanya bergumam sebagai respon. Nampak malas sekali karena lagi-lagi menjadi pusat perhatian.
"Lesu sekali," komentar Taehyung.
"Bagaimana bisa aku bersemangat jika pagi-pagi harus melihat wajah penuh keriput itu?" Lirih Jimin dengan langkah yang dihentikan. Taehyung reflek mengikuti arah pandang pria itu dan berakhir meringis mendapati maksud ucapan sahabatnya.
"Kau dipanggil Presdir Min?"
Jimin memandang Taehyung malas.
"Bukan, aku dipanggil Raja Iblis."
Tehyung langsung blank seketika. Bahkan ketika Jimin sudah berlalu dan menghilang di balik lift, pemuda Kim itu masih di tempatnya.
Dasar Alien.
.
.
.
Jimin merasa sangat malas sekali menanggapi ocehan para direksi Perusahaan yang melulu menyindir keras dan menghakiminya perihal kejadian kemarin.
Jimin tidak menanggapi benar-benar mereka karena menurutnya, itu sangat merepotkan.
"Dia hanya pria muda bodoh yang gampang tersulut,"
"Beginilah jika menyerahkan posisi penting pada yang tidak berpengalaman,"
"Apa gunanya kepercayaan dirinya itu jika hanya membuat harga saham perusahaan turun?"
"Kalau sudah seperti ini, kita semua yang kerepotan."
Ah, benar-benar. Telinga Jimin berdengung dan memerah, pria itu sampai mengusap-ngusapnya dengan ekspresi sangsi.
Bisa dikatakan, dia jadi seperti anak SD yang disidang karena sudah menjahili temannya sampai menangis histeris.
Tidak, bahkan di masa lalu Jimin tidak pernah membuat teman sekelasnya menangis, yang ia lakukan hanya membuat mereka kehilangan kesadaran, kalau menangis berisik, Jimin benci itu jadi dia lebih suka membuat mereka pingsan. Lebih simpel, tidak ada ocehan.
Akhirnya, Jimin jengah juga karena pria-pria tua itu terus mengoceh seperti ibu-ibu di pasar.
"Lalu kalian menyuruhku untuk diam saja ketika sebuah pisau hendak menggorok leherku, begitu?" Jimin tersenyum sinis kemudian berdiri, menepuk-nepuk jasnya seolah jas tersebut telah dinodai. Ya, dinodai oleh ocehan kotor para makhluk tua di hadapannya.
"Aku masih punya banyak sekali pekerjaan," Jimin tersenyum aneh kemudian. Senyuman yang benar-benar tidak diniatkan untuk terulas meskipun hanya untuk satu detik.
"Lagi pula, aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan. Kakek Mertuaku begitu 'baik' pagi-pagi sekali sudah memberitahuku." Katanya penuh sindiran. Lalu, pria itu pun melenggang dengan santai keluar ruang pertemuan. Meninggalkan para direksi menganga tak percaya melihat tingkahnya yang benar-benar tak pedulian, terlalu santai dan benar-benar urakan.
"Min Seunghyun, kau yakin tidak salah memilih orang?"
"Aku tidak pernah salah, dia benar-benar memperpendek umurku. Aku tidak salah memilih malaikat maut." Ucapan Seunghyun yang melantur membuat para direksi mengerutkan keningnya heran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Parallel Lines 2 [Completed]
ФанфикMereka berdua masih sama saja. Yang satu kurang ajar dan satu lagi arogan. Tapi sekarang keduanya sudah terikat dalam pernikahan. Lalu, apakah kata 'sama' itu benar-benar tidak akan berubah? Tapi bagaimanapun keduanya, mereka tetaplah Park Jimin dan...