Jimin menghembuskan napas, asap putih keluar dari mulutnya dan ia bergidik untuk sesaat karena keadaan Tokyo yang tengah dilanda badai salju di beberapa bagian.
"Sialan. Dedemit tua itu benar-benar merepotkan hidupku!" Gerutunya sembari berjalan cepat, menjauh dari area bandara dan mencari taksi. Sial baginya juga, si sinting Kenta mendadak tidak bisa dihubungi. Bukan hal yang aneh sebenarnya, pria itu biasanya memang menghilang seolah tenggelam ke dasar bumi jika sedang berada dalam misi besar.
Tapi tidak tepat!
Min Seunghyun juga sama sintingnya kali ini. Sopir jemputan yang sudah dijadwalkan menjemputnya menelepon dan berkata kalau mobilnya terjebak dalam badai salju.
Kira-kira mana yang lebih sial?
Sore hari, di akhir pekan ketika seharusnya ia bersantai ria di apartemen bersama sang istri, malah terjebak di kota Tokyo dengan sederet kesialan yang mengiringi.
Mungkin dia kualat karena sebelumnya sudah membalas semua ucapan ibunya dengan kurang ajar.
Anggap saja begitu.
"Kara!"
"Huh?" Jimin mengerutkan keningnya melihat sosok perempuan dengan mantel bulu berjalan cepat ke arahnya.
"Kau di Jepang? Bagaimana kabarmu? Kenapa kau tidak memberitahuku sama sekali?" Perempuan Jepang itu mengajukan tanya beruntun.
Jimin mengernyit tak paham, bukannya tak mengerti apa yang perempuan itu katakan, tapi-
"Kau siapa?"
"Nani?! Kau tidak mengingatku?" Perempuan itu melotot kaget dengan pandangan tak terima. Jimin hanya melirik sekilas perempuan itu lalu menggidikkan bahunya cuek.
"Menyingkir sana, aku tak kenal." Katanya pedas kemudian berjalan melewati perempuan itu begitu saja. Jimin berencana pergi ke stasiun yang berada di dekat bandara, dia harus pergi Ke Kobe, niatnya untuk beristirahat di hotel sejenak ia buyarkan karena si supir terjebak badai itu.
Tanpa sepengetahuan Jimin, perempuan Jepang tadi mengambil ponsel kemudian menghubungi seseorang.
"Sora Nee-chan, Kara di sini, tapi dia tidak mengenaliku!"
.
.
.
"Untuk apa aku ke Kobe kalau pertemuannya dilakukan di Tokyo?" Jimin menggerutu ketika dia berada di dalam shinkasen yang akan membawanya ke Kobe. Ponsel menempel di telinga dan dia bercakap dengan entah siapa di sana yang malangnya, mendapatkan semburan makian tanpa filter dari Park Jimin.
"Sialan. Aku harus turun di stasiun berikutnya." Dia terlihat amat kesal.
Jadi pada akhirnya, Jimin turun di stasiun berikutnya dan melanjutkan perjalan menggunakan bus umum. Cukup lama karena terkadang, bus harus berhenti karena kekacauan di jalanan karena badai salju.
Jimin menghela napas pasrah.
.
.
.
"Jimin, kau sudah sampai?" Yoongi menelepon suaminya saat hari mulai gelap, wanita itu cemas kenapa pria itu tidak juga meneleponnya padahal seharusnya, Jimin sudah tiba di Jepang beberapa jam yang lalu.
'Baru tiba di Hotel, badai salju di mana-mana,' Yoongi menghela napas lega.
'Sudah dulu, aku harus langsung melakukan pertemuan,'
"Baiklah." Yoongi mengangguk meskipun Jimin pastinya tak akan melihatnya. Mereka berucap salam perpisahan kemudian memutuskan sambungan teleponnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Parallel Lines 2 [Completed]
FanfikceMereka berdua masih sama saja. Yang satu kurang ajar dan satu lagi arogan. Tapi sekarang keduanya sudah terikat dalam pernikahan. Lalu, apakah kata 'sama' itu benar-benar tidak akan berubah? Tapi bagaimanapun keduanya, mereka tetaplah Park Jimin dan...