Chapter 30; It's Me, This Is Me

3.1K 509 281
                                    

Pagi ini di perusahaan, Jimin lagi-lagi mendapati dirinya 'disidang' oleh para petinggi perusahaan. Mereka dengan terang-terangan meminta Jimin mundur dari jabatannya yang sekarang. Membiarkan siapa pun mengisi kekosongan posisi Yoongi.

Jimin tidak mau, tentu saja.

Itu hanya langkah awal untuk merebut posisi Yoongi.

Meskipun urakan, siapa pun harus mengakui kalau Jimin bukan orang yang bodoh. Dia berhasil beradaptasi dan dia melakukan tugasnya dengan baik meskipun kadang-kadang enggannya masih hinggap atau jengahnya benar-benar membuatnya jengkel.

"Aku akan menyelesaikannya. Jika tindakan kalian seperti ini, sama saja kalian tidak memberikanku kesempatan untuk meluruskan semuanya." Ujar Jimin dengan ekspresi jengahnya yang tidak tanggung-tanggung, tidak coba disembunyikan dan malah diumbar terang-terangan. Biar saja, Jimin muak.

"Imejmu terlanjur buruk, kau membuat nama perusahaan tercemar," sinis salah satu Direksi yang langsung disetujui yang lainnya.

"Mundur adalah pilihan yang paling mudah untukmu." Sambung yang lainnya, membuat Jimin memutar malas bola matanya. Jelas saja, tingkahnya itu membuat Dewan Direksi semakin geram. Tapi tidak masalah, toh Jimin memang sengaja melakukannya.

"Pertama-tama, mundurlah dari proyek taman bermain,"

"Setelah itu, kau harus rehat dari jabatanmu dan menunggu media surut,"

"Lalu perlahan, kalian akan menendangku dan memberikan seribu satu alasan agar Yoongi tidak bisa lagi ke tempatnya semula." Sambung Jimin dengan nada mengejek. Direksi itu melotot tak percaya akan kelancangan pria itu. Benar-benar, seumur hidup dia tidak pernah menghadap orang berkedudukan yang sikapnya sama sekali tidak hati-hati.

Park Jimin terlalu barbar, seharusnya bukan jenis yang sulit disingkirkan andai saja pria itu lebih lemah sedikit saja.

Tapi, biarpun Jimin sangatlah frontal dan menjengkelkan. Mentalnya jelas lebih kuat dari apa pun juga. Modal yang menunjang, jelas sekali Min Seunghyun tidak mungkin memilih orang sembarangan. Mereka hanya perlu memiliki sedikit waktu untuk menyadari hal itu kemudian belajar untuk menerima kenyataan tersebut.

"Kalian terlalu cemas seperti ibu-ibu yang tidak rela anak perawannya menikah," kata Jimin dengan santainya.

"Tenang saja. Aku merasa kekhawatiran kalian tidak berguna, hanya membuatku repot saja." Pria itu kemudian berdiri. Dia membungkukkan badannya singkat lalu berjalan pergi setelah berpamit dengan alasan kalau dirinya masih memiliki banyak pekerjaan.

Lagi, Min Seunghyun tentunya menjadi sasaran kekesalan para Direksi.

"Jangan katakan apa pun. Kalian memang tidak membantu. Hanya aku yang repot di sini. Diam saja di kursi kalian dengan tenang dan biarkan si Park keparat itu berbuat sesukanya," sinis Seunghyun. Merasa jengah dengan mereka yang hanya bisa berkoar, memojokkan tanpa tindakan pemulihan apa pun.

"Kalian tahu sendiri, tidak ada yang bisa mengendalikan Park Jimin," pria tua itu berdiri kemudian.

"Karena itulah aku memilihnya." Dia mendesis kemudian lalu berjalan keluar bersama asisten pribadinya.

Para direksi ribut seketika dengan berbagai macam kecaman dan keluhan. Tapi, sebagaimana ucapan Jimin yang selalu mengandung unsur realitas, mereka tidak akan melakukan tindakan apa pun. Tidak cukup berani sebab risiko yang ditanggung akan lebih besar.

Jadi, ibarat kata. Mereka hanya akan mencari aman dengan tetap diam meskipun mulut mereka terus mengeluarkan ocehan tak mutu.

.

.

.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Wajah Jimin semakin masam melihat Kenta sudah duduk anteng di sofa ruangannya. Bahkan tengah meminum teh dengan gaya yang (dibuat-buat) elegan.

Parallel Lines 2 [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang