18: Sebuah Masalah

11.7K 2.7K 525
                                    

Aku segera berlari keluar café untuk mengejar Winwin yang telah masuk ke dalam mobil. Tanpa izin, aku langsung masuk ke dalam mobilnya dan Winwin kini menatapku dengan tatapan tajam.

"Ngapain kamu di sini?"

"Hah?" Aku menatapnya tidak mengerti. Memangnya salah jika aku langsung masuk ke dalam mobilnya? Aku juga masuk karena aku merasa ada sesuatu yang tidak beres di sini. "Bukannya mestinya aku yang nanya ya? Kenapa kamu bisa ada di café? Kamu bukannya lagi kerja?"

"Bukan urusan kamu."

Aku melotot saat mendengar jawaban Winwin. Aku hendak membuka mulut lagi, namun niatku terhenti karena Winwin yang mulai menjalankan mobilnya menjauh dari area café.

"Grace," panggil Winwin setelah ia terdiam selama beberapa menit.

Aku menoleh, dan belum sempat aku membuka mulut, aku kembali dibuat bungkam saat ia melanjutkan perkataannya.

"Kita batalin aja pernikahan ini."

Kedua mataku membelalak dan hampir keluar. Mulutku menganga lebar dan jantungku mulai berdegup tidak karuan. Rasanya, aku seperti tersambar petir.

"Ma-maksud kamu?"

"Kita batalin aja pernikahan ini," ulang Winwin dengan penekanan disetiap katanya.

Kini, aku menatap Winwin dengan tatapan tidak percaya. Aku mencubit tangan kananku sambil berharap kalau aku sedang bermimpi buruk. Tapi, aku merasakan sakit dan aku dapat melihat bekas merah di kulitku akibat cubitanku barusan. Dan ini berarti, aku sedang tidak bermimpi.

"Kamu gak lagi bercanda kan?"

"Ngapain aku bercandain kamu?" Winwin bertanya balik dengan nada yang sangat jutek. "Aku serius. Aku beneran mau batalin pernikahan ini."

"Kalo aku boleh tau, kenapa kamu mau batalin pernikahan ini?"

"Karena aku—" Winwin menoleh ke arahku. "—Gak mau nikah sama cewek yang belom move on dari mantannya."

Aku kembali dibuat terkejut dengan ucapan Winwin. "Siapa yang kamu maksud? Aku udah move on dari mantan aku."

"Mulut bilang udah, tapi hati bilang belom," ucap Winwin, masih dengan nada yang sangat jutek. "Aku tau kamu masih suka sama mantan kamu yang namanya Lucas."

Winwin kemudian mengambil sesuatu dari kursi belakang, dan ia melempar barang itu ke arahku.

"Aw!" Aku meringis saat ujung benda itu mengenai kulitku, atau lebih tepatnya, menggores kulitku. Aku segera mengambil benda itu dan aku dibuat terkejut untuk kesekian kalinya.

Benda yang dilempar Winwin adalah buku harianku. Sebuah buku berwarna kuning dengan tulisan 'Luce' yang telah menjadi temanku bercerita dikala aku mengalami masalah sulit yang tak dapat aku ceritakan pada Yeri atau Dejun saat aku duduk di SMA. Buku yang sekaligus menjadi saksi bisu betapa bahagianya aku dapat menjadi pacar seorang Lucas Wong.

Jujur, aku sudah lama tidak membuka buku itu dan baru kemarin aku kembali membaca ulang dan menulis di lembar paling terakhir tentang perasaanku saat Lucas datang ke rumah untuk memberikan undangan pernikahannya tiga hari yang lalu.

Aku mengambil buku itu lalu menatap Winwin penuh tanya. "Kamu dapet buku ini dari mana?"

"Xiao Dejun," jawab Winwin dengan santainya. "Temen kamu yang namanya Dejun dateng ke kantor aku dan ngasih ini ke aku. Katanya, ini buku penting buat kamu. Dan setelah aku baca semuanya, ternyata dia bener."

Aku melongo. Rasa terkejutku kini berganti dengan rasa kesal yang teramat sangat. Apa maksudnya Dejun memberikan buku harian masa SMA-ku pada Winwin? Dan dari mana Dejun mendapat buku ini?

"Sekarang, jujur sama aku." Winwin menatapku lurus. "Kamu masih suka sama Lucas?"

"Engga, sumpah." Aku menggelengkan kepala sambil membuat pose V dengan tangan kananku sebagai tanda kalau aku benar-benar serius dengan ucapanku. "Aku udah gak suka lagi sama Lucas sejak aku masuk kuliah. Dan ya, aku sempet kaget pas tau kalo dia bakal nikah. Makanya aku tulis di buku aku soal ini. Tapi ini cuma rasa sementara kok. Gak lama lagi juga hilang."

Winwin tidak menjawab, malah pemuda itu kini mengalihkan pandangannya pada jalanan di luar sana yang masih ramai dipenuhi kendaraan meski jam sudah menunjukkan pukul 10 malam.

Aku menatap Winwin dari samping selama beberapa saat. Aku sudah pernah bilang kalau Winwin terlihat sangat tampan dari samping, dan aku tidak akan pernah bosan untuk mengatakan hal itu. Kemudian, aku menghela nafas panjang. Kalau memang Winwin ingin membatalkan pernikahan denganku karena kesalahpahaman ini, aku akan menghargai keputusannya.

"Win," panggilku, tapi Winwin sama sekali tidak berniat untuk menoleh ke arahku sedikit pun. Aku tersenyum tipis, lalu melepas cincin yang tersemat di jari manisku. "Yaudah, aku hargai keputusan kamu."

Aku menyodorkan cincin itu ke arahnya, namun Winwin lagi-lagi tidak menoleh ke arahku. Selama aku mengenal Winwin, belum pernah aku melihat dia seperti ini. Aku rasa, sepertinya dia benar-benar marah padaku.

Maka dari itu, saat mobil berhenti karena lampu merah, aku segera membuka pintu mobil dan turun dari sana. Tak lupa untuk meletakkan cincin Winwin ke atas jok tempatku duduk tadi.

"Makasih, Win. You deserve better."

Dong Sicheng ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang