22: Maaf

12.1K 2.6K 186
                                    

Kedua mataku membelalak saat mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut Winwin. Jadi, sosok wanita yang tadi Winwin ceritakan adalah aku sendiri?

"Kamu tau? Dua bulan ini aku gak di Jakarta," ujar Winwin sambil menjalankan mobilnya saat lampu hijau menyala. "Aku tinggal di New York dan aku dapet banyak banget pelajaran di sana. Contohnya, aku gak boleh terlalu gampang percaya sama omongan orang."

Winwin menoleh sekilas ke arahku, dan aku dapat melihat sebuah senyum tipis di bibirnya. "Aku masih inget waktu itu. Aku lagi capek banget sama kerjaan kantor dan Dejun tiba-tiba dateng buat ngasih tau aku soal kamu sama Lucas. Dia juga bawa diary kamu sebagai bukti."

Aku terus mendengarkan setiap perkataan Winwin sambil memainkan jari-jariku. Sesekali aku juga melempar pandang ke arahnya.

"Maaf ya." Winwin kembali menoleh ke arahku, tapi kali ini aku sedikit terkejut saat aku mendapati kedua matanya yang berkaca-kaca. "Aku gak mau dengerin penjelasan kamu. Aku juga minta batalin pernikahan kita cuma gara-gara salah paham kayak gini."

Menit selanjutnya, Winwin menyeka air mata yang mengalir dari kedua matanya. Tentu saja aku sangat terkejut saat melihatnya. Selama mengenal Winwin, ini adalah pertama kalinya aku melihat ia menangis.

"Gapapa, Win." Tanganku tergerak untuk menepuk pundak Winwin dengan harapan supaya ia tidak menangis lagi. "Aku udah maafin kamu kok. Dari sejak kamu minta putus malah."

Sebuah senyum lebar tercetak di wajah pemuda itu. Raut wajahnya perlahan mulai berubah. Tapi, aku masih dapat melihat dengan jelas sisa-sisa air mata di kedua matanya.

"Makasih banyak ya, Qing."

Aku hendak membuka mulut untuk membalas ucapan terima kasih Winwin, namun aku membatalkan niatku karena Winwin tiba-tiba menarikku ke dalam pelukannya saat mobil berhenti karena lampu merah.










Niat untuk tidak bercerita pada Yeri terkait masalah percintaanku ini pada akhirnya harus gagal karena aku tidak tahan dengan Yeri yang menghujaniku dengan jutaan pertanyaan saat ia tidak mendapati adanya cincin yang tersemat di jari manisku.

"GILA GILA GILA!" Yeri mengacak-acak rambutnya. "Emang dasar Dejun tuh kurang kerjaan banget sih jadi orang. Gara-gara cerita lo ini gue jadi gak respect lagi sama dia."

"Eh gak boleh gitu," ujarku. "Biar gitu juga Dejun kan tetep temen kita."

Yeri kini memandangku dengan mata membelalak. "Yang kayak gini masih lo akuin temen?! Dia udah hampir bikin lo gagal nikah loh, Grace. Lo lupa ya kalo lo udah gagal nikah sama Hendery. Masa gagal nikah lagi?"

"Kalo gagal nikah lagi berarti jodoh gue mungkin udah bahagia sama orang lain," ujarku dengan santai, membuat Yeri menggelengkan kepalanya berkali-kali. "Atau bisa juga jodoh gue udah meninggal. Kan gak ada yang tau."

Gadis cantik itu berdecak kesal. "Selain kepala batu, lo juga pasrah banget ya. Sebel banget gue sama orang yang gampang menyerah sama keadaan."

"Bukan gitu," elakku. "Kalo keadaan udah terjadi, emang bisa kita ubah?"

"Ya bisalah!" Yeri refleks berseru lantang dan tindakannya sukses membuat orang-orang di sekitar kami memandang kami dengan tatapan tajam. "Selagi kita ada niat, apa sih yang gak bisa?"

Aku menghela nafas pasrah. Kalau sudah terjebak dalam kondisi seperti ini, yang dapat aku lakukan hanyalah mengiyakan setiap perkataan Kim Yeri.

"Iya aja deh, Yer."

"Loh? Emang bener—"

Yeri tiba-tiba memutus ucapannya dan ia malah menunjuk seseorang dengan dagunya. Aku mengikuti arah pandang Yeri, dan aku terkejut saat melihat Yangyang telah berdiri di hadapan kami.

"Hm, hello?"

"Hai, Yangyang! Apa kabar nih?" tanya Yeri dengan ramah.

"Aku baik." Tatapan Yangyang kini teralih padaku. "By the way, Jie, boleh kita ngomong sebentar?"

"Eh?" Aku kembali terkejut dengan ajakan Yangyang, tetapi detik berikutnya aku mengangguk setuju. "Boleh, mau ngomong di mana?"

Yangyang menunjuk sebuah kursi panjang yang terletak tepat di dekat pintu masuk café. "Di sana aja."

"Oke."

Aku dan Yangyang berjalan keluar setelah berpamitan pada Yeri. Dan begitu kami tiba di luar, Yangyang langsung mengulurkan tangan kanannya padaku.

"Soal yang waktu di Vancouver itu..." Yangyang tersenyum tipis. "Aku minta maaf ya, Jie."

"Udah aku maafin kok," ujarku sambil menjabat tangan Yangyang.

"Thank you, Jie." Aku tidak dapat menahan senyumku saat aku mendapati senyum Yangyang yang semakin lebar. "Oh iya, aku mau ngasih sesuatu."

Pemuda bertubuh tinggi itu tampak merogoh saku celananya, kemudian mengeluarkan sebuah amplop disertai sebuah kotak dengan warna pink.

"Ini." Yangyang menyodorkan amplop dan kotak itu kepadaku. "Bentar lagi Jiejie ulang tahun kan? Nah ini hadiah ulang tahun buat Jiejie."

Sebagai seseorang yang jarang mendapat kado saat ulang tahun, aku sangat senang saat menerima pemberian Yangyang. Tapi, kesenanganku hanya sementara karena saat aku membalik amplop itu, aku dapat melihat sebuah tulisan yang ditulis dengan tinta hitam.

From, Hendery Wong.

maaf ya baru update!

sebenernya aku mau update dari kemaren cuma aku ngerasa ga sreg dan ujung-ujungnya aku hapus dan aku tulis ulang dari awal 😭

Dong Sicheng ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang