25: Iya

11.3K 2.4K 315
                                    

Aku menatap cincin yang sudah tersemat dengan sempurna di jari manisku dan Winwin secara bergantian.

"Bukannya kamu bilang kalo kamu gak bisa balik sama aku?"

Raut wajah Winwin seketika berubah seratus delapan puluh derajat. Senyum di wajah pemuda itu menghilang, dan wajahnya kini menampilkan suatu ekspresi yang tak dapat aku deskripsikan.

"Aku bisa jelasin soal itu." Winwin terlihat menghela nafas panjang. Kedua matanya kini menyorot ke arahku. "Itu cuma becanda. Aku sama sekali gak serius waktu ngomong itu. Mana mungkin aku gak balik sama kamu?"

"Ya mungkin aja—"

"—Gak mungkin." Winwin menggelengkan kepalanya berkali-kali. "Aku sayang banget sama kamu, gak mungkin aku ninggalin kamu."

Aku terdiam mendengar ucapan Winwin. Pandanganku kini teralih pada sebuah cincin yang akhirnya kembali tersemat di jariku.

"Iya."

Winwin menatapku dengan sebelah alis terangkat. "Iya kenapa?"

"Aku mau balik lagi sama kamu."










"Grace."

Mataku membulat saat seorang pemuda tiba-tiba meletakkan secangkir kopi hitam ke atas mejaku.

"Dejun? Ngapain lo di sini?"

Pemuda dengan kaos abu-abu itu tersenyum tipis, seolah tidak peduli dengan tatapan tidak suka yang aku berikan. Jujur saja, aku masih kesal dengan tindakannya beberapa waktu yang lalu.

"Gua ke sini mau sarapan."

Aku melemparkan tatapan tajam kepadanya. "Ya terus? Harus banget di meja gue?"

"Masih aja marah sama gua," ucap Dejun dengan santai, membuat emosiku sedikit naik. Bisa-bisanya dia bicara seperti itu setelah semua yang sudah ia lakukan padaku?

Memang sekarang aku dan Winwin telah kembali bersama, tapi entah mengapa, aku masih kesal dengan Dejun. Apalagi ditambah dengan dirinya yang bersikap seolah-olah tidak bersalah. Dejun juga tidak pernah mengucapkan kata maaf sebagai bentuk etikad baik padaku.

Menjadi sahabat Dejun sejak SMA, aku sudah sangat hafal dengan tingkah laku pemuda itu. Dan aku juga tau, ia bukan seseorang yang mudah mengakui kesalahannya, apalagi sampai meminta maaf atas kesalahan yang telah ia perbuat.

Jadi, aku tidak terlalu berharap jika Dejun akan meminta maaf padaku atas kejadian beberapa saat lalu.

"Gua ke sini mau minta maaf."

Aku menatapnya dengan tatapan sedikit terkejut. Tunggu, baru saja Dejun berkata jika ia mau meminta maaf padaku?

"Minta maaf?" Aku menatap Dejun tidak percaya. "Gue gak salah denger nih?"

Dejun menggelengkan kepalanya. "Gak, lu gak salah denger. Gua emang mau minta maaf sama lu."

"Lo udah sadar salah lo?"

"Udah." Dejun mengangguk. "Maaf, gua udah ngehancurin hubungan lu sama Winwin. Waktu itu yang ada di pikiran gua cuma satu, gua gak mau lu sama Winwin. Gua bisa terima kalo lu sama Lucas atau sama Hendery, tapi gua gak mau kalo lu sama Winwin."

Dejun menyeruput kopi miliknya, lalu ia kembali melanjutkan, "Kalo gua bilang gua sama Winwin saudara sepupu, lu percaya gak?"

"Serius?"

Lelaki dengan alis tebal itu menganggukkan kepalanya, membuat mulutku semakin menganga lebar.

"Bokapnya Winwin sepupuan sama Nyokap gua," lanjut Dejun. "Gua baru tau kalo dia sepupu gua pas Nyokap kasih tunjuk foto keluarga besar gua. Di foto itu, gua masih digendong, terus di bawah gua ada anak kecil lagi duduk, nah itu Winwin."

Tubuhku membeku selama beberapa saat. Sungguh, aku benar-benar tidak menyangka dengan fakta yang baru saja aku dengar. Kenapa dunia ini begitu sempit?

"Perusahaan yang udah dirintis keluarga gua dari nol pernah direbut sama Nyokapnya Winwin, makanya gua jadi benci banget sama dia. Ditambah dengan gua tau Winwin suka sama lu dan lu juga suka sama dia, disitu gua bener-bener benci banget sama Winwin. Sampai gua berharap dia mati secara tragis."

Dejun menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya secara perlahan. Laki-laki itu mengambil cangkir kopinya, lalu menghabiskan kopi itu dalam sekali teguk.

"Tapi akhirnya gua sadar. Gua gak bisa kayak gini terus." Kedua mata Dejun kini menatapku lurus. "Dan sekarang, gua bener-bener udah ikhlas lu sama Winwin. Karena Yeri bilang, cinta gak harus memiliki."

Aku menatap Dejun yang terlihat lesu. Mulutku hendak terbuka untuk bertanya, namun Dejun malah memotong ucapanku.

"Maaf sekali lagi."

"Gue udah maafin kok." Aku tersenyum tipis. "Maafin gue juga ya. Gue gak bisa bales perasaan lo."

Dejun tersenyum tipis. "Gapapa. Gak selamanya apa yang gua mau harus gua dapetin, kan?"

"Semoga lo ketemu yang jauh lebih baik dari gue ya."

"Thanks buat doanya," ujar Dejun. "Jangan lupa undang gua pas lu nikah. Undang mantan lu juga si Lucas."

"Pasti."

"Gua tunggu." Dejun tersenyum lebar, hingga deretan giginya terlihat. "Oke, gua duluan ya."

Aku menatap punggung Dejun yang mulai menjauh dengan senyum tipis di bibirku.

Jauh dalam hatiku, aku ingin sekali melihat Dejun bahagia bersama dengan wanita yang sejuta kali jauh lebih baik dibandingkan diriku. Seorang wanita yang pantas bersanding di sebelahnya.

Tapi sayang, harapanku tidak dapat terwujud.

selamat malam ✨

Dong Sicheng ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang