3: Kita di Masa Depan

17.2K 3.4K 252
                                    

"Thank you and enjoy your meal."

Sesudah waitress pergi meninggalkan meja, aku menagih janji Winwin beberapa menit yang lalu.

"Win? Ayo cerita. Katanya mau cerita kalo makanan udah nyampe."

"Bingung mau cerita dari mana." Winwin tersenyum sambil mengelap garpu dan sendok dengan tisu. "Kamu aja yang nanya, nanti aku yang jawab."

"Emang bener kalo kamu suami aku?"

"Iya."

"Terus?" Aku mengambil botol berisi keju dan menuangnya ke atas makananku. "Kita nikahnya kapan?"

"Sesuai yang kamu mau, pas kamu umur 25. Dua tahun dari sekarang."

Aku cukup terkejut mendengarnya. Aku memang pernah bercerita pada Yeri kalau aku ingin menikah di usia 25 tahun saat aku masih berusia 19 tahun. Dan aku belum pernah menceritakan hal ini pada orang lain selain Yeri, bahkan Hendery sekalipun.

"Kita punya berapa anak?"

"Satu," jawab Winwin sambil mengangkat telunjuk kanannya.

"Namanya? Dong Shancai?"

Winwin tertawa terbahak-bahak saat mendengar jawabanku. Aku menatapnya bingung karena menurutku, ucapanku tidak lucu sama sekali.

"Kamu ternyata suka nonton Meteor Garden ya."

"Iyalah," ujarku. "Ngeliat Dylan Wang ganteng banget tuh. Si Guan Hong juga gak kalah ganteng. Caesar Wu apalagi aduh gila gantengnya gak bisa diganggu gugat."

"Gantengan juga aku," ujar Winwin. "Oh iya, anak kita juga ganteng kayak aku loh."

Aku menatap Winwin dengan tatapan berbinar. "Anak kita cowok?"

Winwin mengangguk mantap. Sebuah senyuman muncul di bibirku. Rasanya, hatiku begitu senang saat mengetahui kalau keinginanku untuk memiliki anak pertama laki-laki akhirnya dapat terkabul.

"Terus, kamu gimana caranya bisa kembali ke masa lalu?"

Winwin diam selama beberapa menit. Tangannya sibuk bermain dengan garpu yang melilit spaghetti-nya, beberapa detik kemudian ia berujar, "Aku bingung ceritanya mau cerita dari mana."

Aku menghela nafas pasrah. "Yaudah kalo kamu bingung. Gapapa."

"Hmm, ada lagi gak yang mau kamu tanyain?"

"Ada," ucapku saat perkataan Winwin soal hubunganku dan Hendery yang berakhir karena Hendery meninggal terlintas di kepala. "Hendery beneran pergi?"

"Iya."

"Emang gak bisa ya kalo aku putus sama Hendery dengan cara lain? Gak dengan cara dia meninggal gitu?"

"Gak bisa," ucap Winwin. "Kamu sendiri yang cerita kalo kamu putus sama Hendery karena dia meninggal. Waktu itu kamu lagi beres-beresin barang, terus ketemu foto kalian. Dan disitu kamu cerita sama aku sambil nangis-nangis."

Aku mengusap wajahku kasar. Aku tau setiap orang pasti meninggal, tapi aku belum siap jika Hendery akan meninggalkanku dalam waktu dekat, apalagi disaat kami sudah hampir selesai dengan segala persiapan pernikahan kami.

"Ngomong-ngomong, Vancouver ternyata enak ya," ujar Winwin, membuat atensiku teralih padanya. "Aku seneng banget akhirnya bisa ke sini."

"Emang sebelumnya kamu belom pernah ke sini?"

Winwin menggeleng. "Belom. Aku pernahnya ke Amerika. Kan orang tuaku punya usaha, sering banget bolak balik ke sana. Jadi aku ikut deh."

"Sama aku juga gak pernah?"

Dapat aku lihat raut wajah Winwin yang berubah drastis. Rona bahagia yang semula ada di wajahnya seketika menghilang dan berganti dengan raut kesedihan.

"Eh kenapa, Win?"

Winwin hanya diam dan menatap spaghetti-nya yang masih banyak dengan tatapan kosong.

"Win?" panggilku. "Kok diem aja? Kamu kenapa?"

"Ke-kepala aku pusing banget.."

"Yaudah kita ke rumah sakit sekarang ya." Aku segera bangkit berdiri dan hendak pergi ke kasir untuk membayar makanan kami, tapi Winwin menahan tanganku.

"Gak usah ke rumah sakit. Nanti ribet urusannya."

"Gak bisa gitu," protesku. "Kepala tuh penting loh, Win. Kalo kepala sakit harus diperiksa ke dokter secepat mungkin. Mencegah lebih baik daripada mengobati."

"Aku bilang gak usah. Udah kamu lanjutin aja makannya—aw!"

Winwin mengerang kesakitan sambil memegang kepalanya. Aku dengan cepat mengeluarkan ponsel dan menelepon rumah sakit terdekat.

"Please, dengerin aku. Gak usah bawa aku ke rumah sakit. Bawa aku ke rumah kamu aja."

Aku menatapnya ragu untuk beberapa saat. Namun pada akhirnya, aku menganggukkan kepala sebagai tanda setuju dan memesan taksi lewat ponselku.

"Aw!"

Winwin kembali mengerang kesakitan sambil memegang kepala dengan kedua tangannya, dan aku semakin panik saat pemuda dengan kaos hitam itu terjatuh dari kursinya dan pingsan seketika.

Kamu kenapa, Win?

Dong Sicheng ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang