"Kenapa sih Ni?" Seseorang mencekal tangan Zania saat ia ingin berjalan keluar kelas.
"Duh bosen banget gue denger orang nanya kayak gini." Zania menghentakkan tangannya. Ia benar-benar bosan mendengar pertanyaan orang-orang mengenai dirinya, dan juga ia sedang terburu-buru.
"Dengerin gue dulu."
"Gue mau cepet-cepet pulang." Zania melanjutkan langkahnya.
"Itu HP lu ketinggalan di meja. Mau di gade in aja?" Tanya Zico, ketua kelas XII IPA III, kelas Zania.
"Oh iya! Tengkyu Co!" Zania langsung berlari menuju mejanya. Saat ingin membalikkan badan, Zania menabrak sebuah dada yang sangat bidang dengan bau parfum yang sangat khas.
"Ni ayo—" Ayanda langsung menutup mulutnya karena melihat siapa yang Zania tabrak.
"Nda, itu udah di tunggu— nah kan persis kayak ramalan gue." Ucap Romi, kemudian berdiri tepat di samping Ayanda.
"Permisi." Zania langsung memberikan jarak di antara dirinya dan Manu. Ia memiringkan badannya agar bisa melewati bagian samping meja. Tetapi Manu ikut menggeser kesamping, mengikuti arah Zania.
"Wah ni orang ya. Gue buru-buru." Zania mendorong badan Manu. Saat ini Zania benar-benar tidak ada waktu untuk berbicara panjang lebar dengan Manu. Dia harus segera pulang.
"Lo pulang bareng gue." Kemudian tangan Zania ditarik secara paksa oleh Manu.
"Ehh? Lepasin. Nda tolong Nda!" Cekalan tangan Manu sangat kuat. Ayanda yang tersadar, langsung mengikuti Zania dari belakang, tanpa bisa berbuat apa-apa.
"Eh Nu lepasin Nu! Dia harus pulang sama gue pake banget." Ucap Ayanda sambil mengejar Manu dan Zania.
Aura Manu benar-benar berbeda. Telinganya seperti tuli, tidak mendengarkan ucapan siapa pun. Ia juga tidak memperdulikan Zania yang meronta-ronta ingin dilepaskan. Tiba-tiba mereka sudah berada di parkiran motor.
"Naik." Ucap Manu dingin.
"Gue harus pulang sama Ayanda."
"Naik." Manu langsung memakaikan helm ke kepala Zania.
"Apaan sih Nu? Gak jelas banget tau gak sih sikap lo?" Emosi Zania sudah tersulut. Perlakuan Manu sudah sangat membuatnya marah. Di tarik paksa secara tiba-tiba, kemudian memakaikan helm dengan cara yang sedikit kasar, membuat telinga Zania yang tergesek merasakan sakit walaupun tak ada apa-apanya dibandingkan rasa sakit di hatinya saat ini.
"Fanya Zania Keanu. Naik sekarang juga." Semua intonasi Manu adalah penekanan. Mereka di jadikan tontonan oleh anak-anak yang sedang berada di parkiran. Kemudian Manu menatap mereka dengan tatapan yang baru kali ini mereka lihat, tatapan yang sangat berbeda dengan kepribadian Manu biasanya, membuat beberapa dari mereka cepat-cepat mengeluarkan motor.
"Gak jelas." Zania memberikan helm yang tadi ia gunakan dengan kasar dan sedikit mendorong. Kemudian ia sedikit berlari ke arah Ayanda, takut-takut Manu kembali mencekal tangannya.
"Cepetan Nda masuk ke mobil lo." Zania dan Ayanda berlari ke arah mobil HRV hitam yang berada di luar gerbang sekolah.
Sesampainya di mobil, Ayanda langsung menyuruh supirnya untuk jalan.
"Udah lama gue ga liat Manu seserem itu." Ucap Ayanda sambil mengibas-ngibaskan tangannya ke arah wajahnya, berharap keringat segera berhenti mengalir.
"Ah ga ngerti gue! Nda, bisa ga kita ga langsung balik dulu? Pergi ke mana gitu kek. Gue tau pasti dia bakal langsung kerumah gue atau ga kerumah lo." Zania memejamkan matanya, ia pusing. Zania melupakan fakta bahwa Manu orang yang nekat. Salah satu sifat Manu yang sangat Zania tidak suka.
"Pak Dun, ke D dulu ya." Ayanda berbicara kepada supirnya, yang di jawab dengan anggukan dan acungan jempol. D merupakan cafe tempat mereka—Zania, Ayanda, Manu dan kembar idiot berkumpul dan menghabiskan waktu bersama.
"Bang Vano tau gak sih lo berdua berantem gini?"
"Tau. Kemaren malem gue cerita."
Flashback kemarin malam...
"Kenapa ga kerjain bareng Manu?"
"Ah udahlah gausah di bahas. Dah sono keluar. Ganggu konsentrasi aja." Zania langsung menutup telinganya dengan bantal yang tadinya ia jadikan tumpuan.
"Nah kan bener ada yang salah. Sini cerita." Baru dipancing sedikit, Zania langsung menangis, kemudian memeluk Vano.
"Lah? IH INGUS LO NEMPEL DI BAJU GUE—"
TAK!
"KOK GUE DI JITAK?!" Vano mengusap kepalanya, kesakitan.
"ABISAN GUE KESEL. HUAA!" Zania makin terisak.
"Wassalam deh gue masuk ke kamar lo." Keputusan yang amat Vano sesali saat ini adalah menanyakan keadaan hubungan adiknya dan Manu.
"Gue kesel banget sama dia. Apa coba dia tiba-tiba minta tolong ke gue buat nyoblangin dia sama anak kelasan Romi. Terus dia pake ngejelek-jelekin gue lagi bang. Gue kesel! Kesel! Kesel!" Zania memukul dada Vano berulang kali.
"Aw! Sakit tau! Tuh kan bener apa kata gue, lo ada rasa sama dia." Ucap Vano sambil sedikit menjauh dari Zania, takut di pukul lagi.
"Engga! Gue sakit hati pake dibanding-bandingin sama cewe yang dia suka. Padahal kan gue juga pinter Fisika bang! Bahasa gue juga bagus ko nilainya, walaupun MTK gue lemah." Zania kembali menarik baju Vano, supaya Vano kembali mendekat.
"Nih ya Ni. Gue ngerti perasaan lo sebenernya ke dia tuh gimana. Coba lebih terbuka sama hati lo. Gue tau lo juga tau apa yang lo rasa. Mungkin sekarang lo masih nyangkal. Nanti juga lo paham. Duh duh duh. setelah 17 tahun lo idup, akhirnya lo suka juga ya sama orang." Vano mengusap kepala adiknya dengan gemas.
"Gausah di acak-acak juga dong rambut gue! Tapi gue gamau suka sama dia bang. Gue gamau ngerusak persahabatan gue. Gue gamau kehilangan dia karena gue punya perasaan sama dia. Gue harus apa dong bang?" Zania kembali menangis.
"Eh udah dong nangisnya. Kayak gue apain aja sih. Ya terus sekarang lo maunya gimana?" Vano mengelap air mata Zania.
"Ah gue gatau! Gue gamau kehilangan sahabat gue." Zania menggerakkan seluruh tubuhnya, seperti anak kecil yang sedang merengek.
Dan byurr. Air minum yang Vano letakkan di bawah kasur Zania tumpah karena sang empunya.
Flashback off...
"Lanjut cerita di dalem aja deh." Mereka sudah sampai.
Mereka duduk di sofa, dekat kaca besar yang menampakkan jalan raya.
"Gue cokelat panas aja deh Nda." Pesan Zania. Ia langsung menidurkan kepalanya di meja, menghadap kaca.
"Yaudah. Cokelat panasnya 2 ya mba." Ucap Ayanda kepada waiter yang melayani mereka.
Tiba-tiba motor Vespa sprint berwarna abu berhenti tepat di depan kaca dimana Zania dan Ayanda duduk.
"Serius. Bisa gak sih tenang sebentar aja?" Zania memejamkan matanya gusar, melihat siapa yang mengendarai Vespa familiar tersebut.
"Lo yang dikejar kok gue yang cape ya Ni?" Ayanda sudah pasrah.
Pria tersebut memarkirkan motornya, kemudian masuk ke dalam cafe dengan senyuman yang sangat lebar.
"Eh ketemu disini ternyata." Ia langsung mengambil posisi di samping Zania.
"Allah tuhan tolong! Satu orang aja yang bikin mood hamba anjlok bisa gak sih?!" Raung Zania dalam hati.
tbc.
Dear silent reader, pencet bintang pas lagi baca napa:( Yang baca banyak, yang ngevote dikit. Ah bete ah:(
![](https://img.wattpad.com/cover/68963107-288-k855443.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
S(He) is Mine
Novela Juvenil"Gue gak tau, ini namanya apa. Tapi, setiap gue ngeliat lu bareng sama cewek lain, hati gue sakit. Apa perasaan ini sebatas takut? Takut lu pergi dari gue karena kita sahabat dari dulu?"- Zania. "Rasanya gak rela, liat lu berdua sama cowok lain. Apa...