[5]

709 114 8
                                    

Menunggu anak-anakku pulang sekolah tidak pernah se-mendebarkan hari ini.

Aku duduk di sebuah bukit kecil yang sangat sepi di dekat sekolah anak-anakku. Duduk bertekuk lutut menikmati hembusan angin pada siang menjelang sore hari ini. Kalau kalian tanya kenapa aku malah di sini dan bukan di gerbang sekolah, jawabannya karena aku ada janji ketemu dengan seseorang.

Aku gugup setengah mati untuk bertemu lagi dengan pria itu. Aku takut akan reaksinya jika mengetahui bahwa aku membesarkan anak kandungnya tanpa sepengetahuan dirinya.

Aku takut kalau nantinya dia justru menolak keberadaan mereka.

Ku tenggelamkan wajahku di tekukan lutut. Berusaha menepis segala pikiran negatif yang hampir membuatku terkena panic attack.

"(Name)", ucap sebuah suara yang cukup ngebass mengagetkanku.

Terkejut bukan main ketika orang yang aku tunggu sudah datang. Saking terkejutnya aku yakin wajahku sangat komikal. Aku melongo melihat pria yang berdiri menjulang didekatku.

Rambutnya masih coklat seperti dulu, namun dengan style yang berbeda. Struktur wajahnya makin tegas, sangat menunjukkan bahwa pria tersebut benar-benar di puncak kematangannya. Tinggi badannya pun bertambah. Waktu SMA dia udah tinggi sebenernya, tapi gak setinggi sekarang. Entah berapa centi dia nambah, yang jelas aku makin kayak kurcaci kalo berdiri disampingnya.

Pakaian yang ia kenakan sangat kasual, namun karena kasual itulah pria didepanku jadi makin tampan. Apalagi dengan kacamata yang ia kenakan. Kesan ganteng-ganteng cool makin melekat pada dirinya.

(Kira-kira seperti itu penampilan Futakuchi sekarang, anggep aja warna rambutnya coklat)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Kira-kira seperti itu penampilan Futakuchi sekarang, anggep aja warna rambutnya coklat)

**********

"Udah lama nunggu?", pertanyaannya menyadarkanku yang sedari tadi melongop mantengin pria tersebut.

"Enggak juga. Sini duduk," tawarku seraya menggelar koran untuk alas dia duduk.

Pria itu hendak menolak namun aku udah lebih dulu menarik pria itu sehingga dia udah duduk disampingku.

"Kamu gak pake alas?", tanya pria itu lagi.

Aku menggeleng, "Udah biasa kok. Lagipula kasian itu celanamu masih bagus nanti kotor."

"Terus celanamu gimana?"

"Kan aku barusan bilang kalo aku udah biasa, Futakuchi-san", jawabku yang berhasil membungkam pria yang aku panggil Futakuchi.

Keheningan menyelimuti kami. Tak ada satu di antara kami yang membuka pembicaraan. Sebenernya aku agak takut untuk langsung nembak ke pembicaraan itu. Tapi karena ini mungkin satu-satunya kesempatan, aku memberanikan diri.

"Futakuchi-san/(Name)", ucap kami bersamaan.

Kami saling tatap. Oh Tuhan, netra coklat itu. Sebelum aku benar-benar tidak kuat, ku alihkan pandangan seraya berucap, "Kamu duluan."

Futakuchi memberi jeda sebelum ia berkata, "Waktu reuni kemarin, kau membawa dua orang anak balita kan?"

Aku mengangguk pasrah, tau kemana arah pembicaraan ini.

"Mereka... apakah mereka.... anak-anakku?", tanya Futakuchi berhati-hati masih terus menatap (Name) yang membuang muka.

Perlahan, (Name) mempertemukan lagi tatapan mereka. Dengan tatapan sendu, (Name) kembali mengangguk.

"Aku tahu ini berat buat kamu. Tapi aku pingin kamu tau kalo aku ngelakuin ini semua demi-"

"Kenapa kamu gak bilang apa-apa? Kenapa kamu gak ngabari aku!?", tanya Futakuchi dengan volume suara yang meningkat.

"Aku belum selesai ngomong. Jangan putus omonganku", sampai sini aku mau nangis ngeliat Futakuchi hampir emosi.

"Aku hamil waktu kamu naik pangkat. Aku sengaja gak bilang karena aku gak mau mengganggu karirmu. Karena jabatan barumu, kamu dipindah dinas ke Tokyo. Aku jadi makin gak berani buat ngasih tau kamu."

"Tapi kan mereka tanggung jawabku juga (Name)! Kalo kamu ngasih tau dari dulu, aku bisa bantu kamu dengan ngirim uang buat biaya mereka! Aku tau terkadang aku semaunya sendiri, tapi ada kalanya aku bisa serius dan tanggung jawab!", bentak Futakuchi udah bener-bener marah.

"Kan aku udah bilang kalo aku gak mau ganggu karirmu. Aku sengaja ngelakuin semuanya sendirian biar kamu sukses, biar kamu mapan. Biar kamu bisa menikmati masa mudamu tanpa beban tanggung jawab mengurus anak!"

"Kamu kenapa jadi egois gini, (Name)!? Ini urusan kita berdua! Jangan diselesein sendiri! Kumohon, jangan kesampingin aku. Kasih aku kesempatan buat benerin keadaan."

"Aku bakal ngasih kamu kesempatan kalo waktu itu kamu masih sendiri. Tapi apa? Kamu udah punya pacar. Bahkan kalian udah rencana tunangan. Aku gak mau jadi PHO. Aku gak mau ngerusak hubungan kalian!"

Aku udah nangis sesenggukan. Aku malu sama diriku sendiri. Aku kecewa sama diriku sendiri. Aku sempet mendengar Futakuchi mendecih sambil memukul tanah disampingnya. Setelahnya hening lagi, hanya ada suara terisak dari aku.

Begitu aku agak tenangan, Futakuchi meluk aku erat. Aku bingung. Aku gak pernah dipeluk cowok sebelumnya jadi aku gak tau harus bereaksi seperti apa. Akhirnya, aku balas pelukan Futakuchi.

Dia menenggelamkan wajahnya di pertemuan antara leher dan pundakku sesekali minta maaf. Berkata kalo pertunangannya batal karena si cewek kabur sama cinta pertamanya. Aku cuma bisa ngelus-ngelus punggung lebarnya. Berusaha mati-matian supaya gak nangis lagi.

Futakuchi sedikit melonggarkan pelukannya. Kedua tangannya masih melingkar erat di tubuh gendutku. Kulihat ada setitik air mata di pelupuk. Pertanda Futakuchi juga nahan tangis pas meluk aku.

Ternyata, cowok seganteng Futakuchi pun bisa ditinggal kabur sama tunangannya. Kukira yang kayak gitu cuma berlaku buat "kentang" seperti aku.

Ku lepas kacamata Futakuchi terus aku usap kedua pipinya dan menghapus air matanya. Selain wajahnya ganteng banget, ternyata kulitnya juga halus dan manly.

"Kenji", panggilku dengan lembut.

Secara perlahan, ia buka kelopak matanya dan mempertemukan netra coklatnya dengan netra (eye color)ku.

"Mau ketemu mereka? Bentar lagi mereka pulang sekolah", tawarku. Futakuchi hanya mengangguk. Aku berdiri lebih dulu lalu membantunya berdiri.

Sesuai dugaan, aku terlihat cebol dibanding Futakuchi yang sekarang. Aku yakin tingginya sekitar 189 sampai 192 cm. Apalah aku yang tingginya di bawah 160 cm, sekitar 155 cm-an lah.

Futakuchi menautkan tangan kami berdua. Luar biasanya, tangannya yang lebih besar bisa ngepas sama tanganku. Aku terheran. Bagaimana bisa tangan orang gendut sepertiku bisa cocok dengan tangan besar dan kekar milik Futakuchi.

Kami berjalan beriringan menuju sekolah. Tak sabar melihat reaksi anak-anakku ketika ayah mereka akhirnya "pulang" kembali.

-------------------------------

TBC

Chubby Series #1 || Kali KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang