Perasaanku saat itu salah. Itu bukanlah pelukan terakhirku dan Bumi. Saat itu hanya perasaan gusar dan khawatir yang mampir sekejap saja. Buktinya, hari ini aku mendapat kabar bahwa Bumi dua hari lagi akan berkunjung kembali ke Paris. Sungguh, musim semi yang indah ini semakin indah.
Aku menelusuri setiap koridor rumah sakit yang ada di tengah-tengah Kota Paris. Aku sangat bersyukur tempat magangku tak jauh dari kampus dan juga apartement. Itu adalah sebuah bonus untukku yang akan dengan mudahnya bolak-balik antara kampus, apartement, dan rumah sakit tempat aku magang. Aku ditugaskan menjadi dokter umum di UGD. Hal itu membuat aku terpaksa harus jaga malam.
Aku masuk ke salah satu tirai yang tertutup rapi. Di balik tirai itu ada pasien baru yang harus aku tangani malam ini. Saat aku membuka tirai itu, seorang pria dewasa terbujur lemah di atas sana sambil memegang perutnya. Aku mendekat sambil menyapanya dan menghadiahinya sebuah senyuman. "Hello, Sir!"
Ia membalas senyumanku sambil menganggukkan kepalanya. "Quelles sont vos plaintes actuelles?" Aku mulai menanyakan keluhan yang dialami oleh pria itu.
"Sorry, Miss. I don't speak French," ujarnya yang masih memegang perutnya. Aku tersenyum maklum. Wajahnya memang tidak mirip orang Eropa. Ia lebih mirip orang Asia.
"Oh, sorry. What are your current complaints?" tanyaku lagi yang kini menggunakan bahasa Inggris seperti dirinya.
"I do not know. But my stomach is very sick right now. Is it possible for me to relapse?" tanyanya yang masih memegang perutnya.
"Okay! I will try to examine your stomach. Excuse me!"
Aku mulai memeriksa keadaan perutnya. Dan benar dugaannya. Maagnya kambuh. Aku langsung memanggil perawat yang lewat begitu saja dan menulis beberapa resep obat untuk segara dibawa ke tirai ini. Karena menurutku, maghnya hanya datang karena ia tidak makan. Jadi, cukup dengan dibantu obat, makan, dan istirahat, ia akan sembuh.
"Sorry. You haven't had dinner yet?" tanyaku begitu aku kembali mendekat pada seorang pria yang sedang berbaring lemah itu. Ia menggelengkan kepalanya lemah.
"Why? No wonder your stomach has a relapse."
"Ordinary! Work made me forget to eat," ujarnya sambil terkekeh. Aku melongo mendengar jawaban dari pria ini. Dia tipe orang Asia 100%. Orang Asia lebih mementingkan pekerjaan daripada kesehatan.
Seorang suster yang tadinya kuminta bantu itu tiba dengan beberapa obat di tangannya. Aku menerima uluran obat itu dan ia pun langsung berpamitan pergi. Kini, aku beralih memusatkan fokusku pada pria dewasa yang aku tebak umurnya sekitar 28 tahun di hadapanku ini.
"Okay, Sir. Here is the cure and immediately have dinner and take this medicine. Get well soon," ujarku sambil menyerahkan obat itu padanya. Ia tersenyum sampil menerima obat itu.
"Terima kasih, dokter Bulan!" ucapnya dengan tulus dan itu membuat aku terkejut. Ia bisa bahasa Indonesia? Betul 'kan tebakanku? Dia orang Asia!
"Wah ... pantas kena maag. Orang Indonesia, ya?" tanyaku dan dia menganggukkan kepalanya.
Selama aku tinggal di Paris, aku belum pernah bertemu dengan orang Indonesia. Dan ini adalah orang Indonesia pertama yang aku temui di Paris. Hal ini sungguh sangat langka. Aku hanya tersenyum begitu ia pergi meninggalkanku. Aku perhatikan ia yang terus menjauh, orang Indonesia yang tidak ada sopan santun. Aku terkekeh sendiri dengan julukan itu dan karismanya yang menjauh.
Ah ... ini tidaklah penting. Seharusnya ia tidak kuceritakan dalam kisahku ini. Dia hanya orang yang datang sambil berlalu yang membuat aku bertanya-tanya, apa niat Tuhan mempertemukanku dengannya?
![](https://img.wattpad.com/cover/177663994-288-k763220.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Friend of Life and Death #Wattys2019
Roman d'amourHidupku sangat menyedihkan. Aku tak tahu kapan happy ending menghampiriku. Awalnya sih, hidupku baik-baik saja bersama Bumi kekasihku. Ah! Lebih tepatnya cinta pertamaku. Aku tidak tahu apa yang terjadi selama aku di Paris. Aku ke sana karena hendak...