Aku Ingin Pergi

75 5 0
                                    

Aku bingung dengan jalan pemikiran Bumi. Setelah dua hari hidupku gundah karenanya, dan kini saat aku sudah tenang dia datang menemuiku. Aku awalnya malas menemuinya, tapi aku tidak mau membuat orang tuaku curiga. Hubunganku dan Bumi diketahui oleh orang tua hanya sebatas teman saja. Tidak lebih dari itu. Hanya Kak Langitlah yang tahu hubunganku dan Bumi sejauh mana. Maka dari itu, aku terpaksa menemuinya kini.

Kulihat Bumi sedang berbicara dengan Kak Langit. Hari ini rumahku tidak kosong seperti biasanya. Kedua orang tuaku lengkap di rumah dan juga Kak Langit tidak ke mana-mana di hari Minggu ini. Hanya kurang Kak Bintang yang memilih mengadu nasib di New Ziland tanpa niat untuk kembali menetap di Indonesia. Ngomong-ngomong, masalahku dan Kak Bintang tidak jauh berbeda. Hanya saja, pria itu mutlak pacaran dengan Kak Bintang. Namun, perjodohan yang tidak diinginkan membuat mereka harus berpisah dan Kak Bintang tidak mau lagi berada di Indonesia untuk melupakan seluruhnya kenangan mereka. Dan kini aku! Tapi aku belum tahu akan nekat seperti Kak Bintang untuk meninggalkan Indonesia dengan lama atau tidak. Intinya kini, secepatnya aku akan meninggalkan Indonesia beberapa bulan.

Aku mendekat ke arah Kak Langit dan Bumi berada. Diriku kini berdiri tepat di samping Kak Langit yang artinya langsung berhadapan dengan Bumi. Kulihat Kak Langit tidak mengeluarkan kebencian terhadap Bumi. Ia memberiku akses sangat besar di kehidupanku sendiri. Yang artinya, aku harus menyelesaikan masalahku sendiri.

"Jangan bicara di rumah, Dek. Nanti jadi runyam," ujar Kak Langit yang menyadari bahwa aku sudah di sampingnya.

Aku menganggukkan kepalaku dan kuelus lembut bahu Kak Langit untuk mengatakan bahwa aku baik-baik saja saat kulihat kekhawatiran di wajahnya. Pandanganku lurus ke depan. Tak melihat Kak Langit apa lagi Bumi. Lalu aku berkata, "Aku tidak tahu apa yang ingin kamu bicarakan. Tapi, kita bicara di taman saja."

Usai mengatakan itu, kukecup pipi Kak Langit dan aku langsung jalan melewati keduanya. Kakiku terus melangkah keluar rumah. Namun, tiba-tiba kaki ini berhenti saat kulihat sebuah mobil yang tak asing berdiri di depan rumahku. Dan di sana, keluarlah sosok yang beberapa hari menghilang sejak ia mengantarku pulang ke Indonesia dan menyelesaikan masalahku dengan Bumi yang ternyata belum selesai.

"Hai, Danish!" sapaku begitu kulihat ia mendekat. Senyumannya tak pernah luntur. Dulu, Bumi juga seperti itu. Tapi senyuman Bumi tak lagi membuat hatiku nyaman, melainkan luka.

"Hai, Bulan!" balasnya dengan senyuman itu. Ia melirik ke belakangku. "Selamat pagi, Tuan Bumi," sapanya yang sedikit menunduk.

"Pagi! Kenapa kamu ada di sini? Dan ... kenapa kamu tahu rumah Bulan?" tanya Bumi bertubi-tubi. Kulihat Bumi kini sudah berdiri tepat di sampingku dan hendak merangkul bahuku. Namun, dengan cepat aku mengelak agar ia tak menyentuhku. Dan sepertinya, ia sadar bahwa aku tak ingin disentuh olehnya. Terbukti dari gerakannya yang tak lagi menyentuhku.

"Tidak ada yang penting. Saya ingin berkunjung dan bertemu keluarga Bulan. Karena saat saya menggantikan Anda di acara wisuda Bulan, saya pergi tanpa pamit. Saya ingin minta maaf," jelas Danish yang kutahu ia berbohong. Jelas ia saat itu selalu ada di sampingku. Tapi, tak apa. Dari pada dia bermasalah dengan Bumi dan pekerjaannya terancam.

"Danish. Masuklah! Di dalam ada Kak Langit dan Mama Papa. Aku lagi ada urusan dengan Bumi," ujarku yang mempersilakan Danish masuk juga untuk menghilangkan kecanggungan di antara kami. Ia menganggukkan kepalanya dan berpamitan. Aku tak lagi melihat gerak-gerik Danish. Entah ia masuk ke rumah atau tidak, aku tak tahu.

Kulangkahkan kembali kakiku dan kini kami sudah berada di luar perkarangan rumahku. Tujuanku adalah taman komplek yang tak jauh dari rumah. Bisa kurasakan Bumi masih terus mengikutiku dari belakang. Mulut ini tak berkata apa pun. Sampai Bumilah yang membuka pembicaraan di antara kami.

Friend of Life and Death #Wattys2019Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang