Pagi ini rumah dibikin heboh dengan tangisan Mama yang tidak ingin melepasku pergi ke California. Apakah aku harus menunda kepergian itu? Ah ... aku tidak tega melihat Mama bersedih apa lagi menangis heboh seperti ini. Tapi, aku juga tidak tega melihat uangku hangus karena tiket yang hangus seperti minggu lalu. Untunglah minggu lalu Danish dengan cepat menggantinya dengan penerbangan hari inu. Lalu, apakah aku harus membatalnya lagi. Jadi, aku juga harus membatalkan rancanganku untuk melupakan Bumi? Ah, Mama! Engkau tega sekali dan engkau sungguh tidak mengerti, Mama! Ingin aku menjerit seperti itu, tapi aku tidak mau Mama dan Papa tahu masalahku dan Bumi. Aku tidak mau mereka tahu bahwa anak bungsu mereka sedang sakit hati.
Aku memasuki ruang dapur yang di sana terletak meja makan. Lalu kupeluk Mama dan kukecup pipinya dengan penuh kasih sayang. Mama masih terus menangis dan mulutnya mengeluarkan banyak kalimat yang inti kalimatnya adalah suatu kalimat yang mencoba menghentikan penerbanganku ke California. Aku masih terus memeluk tubuh Mama mendengar banyaknya omelan yang keluar dengan penuh kesabaran. Begitu melihat Mama capek dan mulai berhenti berbicara, dengan sisa sesegukannya aku mulai kembali membujuknya.
"Mamaku sayang. Bulan tidak lama di sana, Ma. Hanya seminggu saja. Setelah itu, Bulan kembali ke sini," ujarku yang memulai rayuanku.
Mama masih sesegukan. Tapi ia masih bisa menyahut perkataanku. "Baru tujuh belas hari Mama merasakan anak Mama yang sudah lama merantau kembali ke rumah. Masa Mama ditinggal sendiri lagi."
Dengan masih memeluk Mama, aku kembali membujuk. "Aish, Mama. Mama itu di rumah cuma hari Sabtu dan Minggu. Itu pun cuma dari sore sampai pagi besoknya. Setelah itu, 10 jam lamanya Bulan ditinggalkan di rumah sendirian."
Kudengar Mama merengut. "'Kan Mama nggak di rumah karena kerja untuk kamu juga, Sayang. Masa sekarang kamu mau pergi, sih!"
"Mamaku sayang. Enggak lama kok. Pulang dari sana, Bulan bakalan di rumah mulu 24 jam."
"Nggak kerja?"
"Lah! Katanya Bulan harus di rumah."
"Iya, tapi Bulan harus kerja, dong. Masa sudah tua Mama yang biayain. Kecuali kamu menikah, itu nggak apa di rumah. Bukan Mama yang biayain."
Aku menghembuskan napasku pasrah. Ini ibu-ibu satu membahas nikah. Aku membujuknya agar bisa berangkat, beliau malah membahas lagi. Ah ... lelah hayati. Dengan menghembuskan napas berat, aku mulai membujuk seperti semula.
"Mama. Ini sudah jam berapa? Bentar lagi jam 6 dan Mama harus berangkat ke sekolah. Terus, Bulan juga harus siap-siap karena jam 8 harus sudah di bandara," ujarku menunjuk angka-angka yang ada di dalam jam tangan yang sudah dikenakan Mama.
"Jangan pergi, Nak!" rengut Mama lagi yang mulai hendak menangis lagi.
"Jadi, biarin gitu tiket pesawatnya hangus terus uangnya juga hangus?"
Mendengar aku bertanya seperti itu, tangis Mama tidak terdengar lagi. Ia melirik ke arahku sekilas lalu ia melihat ke arah meja makan tempat ia sedang mengadu sedihnya. Sepertinya, Mama sedang berpikir keras. Dan akhirnya, Mama kembali membuka suara.
"Oke, baiklah. Tapi, hanya satu bulan, ya!" ujar Mama yang mengingatkan. Aku baru saja hendak menjawab, terdengar suara Papa dari arah belakang kami.
"Ih, Mama. Sudahlah, Bulan. Pergi selama yang kamu mau. Mama kamu itu cuma nangis sebentar. Tapi, ingat janji kamu. Setelah pulang liburan, kamu harus sudahi aksi liburan itu dan cari kerjaan," ujar Papa yang mengingatkanku pada janji antara aku dan Papa minggu lalu.
Aku menganggukkan kepalaku mantap. "Oke, Pa! Bulan selalu ingat janji," ujarku dengan amat mantap. Dan juga Bulan ingin cepat mendapatkan pekerjaan dan hidup baru agar melupakan Bumi. Sambungan kata itu hanya bisa kubisikan sendiri di dalam hatiku.
![](https://img.wattpad.com/cover/177663994-288-k763220.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Friend of Life and Death #Wattys2019
RomansaHidupku sangat menyedihkan. Aku tak tahu kapan happy ending menghampiriku. Awalnya sih, hidupku baik-baik saja bersama Bumi kekasihku. Ah! Lebih tepatnya cinta pertamaku. Aku tidak tahu apa yang terjadi selama aku di Paris. Aku ke sana karena hendak...