Aku mulai melakukan apa yang disarankan oleh Daniel untukku. Begitu usai mandi, aku menjadi sangat segar dan siap untuk bereaksi seperti perencanaanku dan Daniel. Kali ini, aku tidak boleh lagi kalah oleh keadaan dan diulok-ulokkan oleh nasib.
Aku keluar kamar dengan perasaan yang baru. Kulihat Bumi sedang menonton. Aku berjalan ke arahnya dan memberi kunci kamar bekas Danish dan Alice tempo hari. Dan kebetulan, aku juga sudah minta izin pada pemilik rumah itu. Tanpa kata, hanya meletakkan kunci itu tepat di depannya. Ia masih sibuk menonton televisi. Sedangkan diriku lebih memilih menyibukkan diri di dapur. Aku mulai mengeluarkan beberapa bahan masakan yang akan kumasak untuk makan malam.
Sedang asiknya aku memasak sambil bersenandung kecil, aku merasakan seseorang berdiri tepat di belakangku. Rasa itu selalu saja sama. Hampir saja aku kembali terlena dan jatuh pada dirinya. "Ada apa?" tanyaku setelah beberapa menit dia tidak mengatakan sesuatu. Aku tidak tahu apa yang sedang ia lakukan. Dan aku tidak peduli itu.
"Your so beatiful," bisiknya tepat di telingaku.
Hati ini bergetar. Hati wanita mana yang tidak akan bergetar mendengar bisikan merdu yang berupa pujian? Aku rasa, semuanya akan bergetar dan berdebar. Aku pun merasakan itu. Apa lagi, ini dari seseorang yang amat special di hidupku. Dari dulu, sampai sekarang. Lagi-lagi aku merasakan getaran yang sama. Yaitu cinta ...
Hati ini berloncat girang. Tapi pikiran ini terus berusaha menolak dan berusaha bersikap seperti biasa saja. Untungnya, hatiku saat ini mau bekerja sama. Apa lagi saat kuingat kenapa ia bisa pergi dariku. Yaitu, kehadiran wanita lain yang tidak lama lagi akan menjadi miliknya seutuhnya. Walaupun celah itu bisa kumasuk, tapi aku bukan sosok Bunga yang akan menyelinap dan tumbuh di sana. Aku sosok Bulan. Yang akan selalu menyinari walaupun aku tidak bisa memiliki. Itulah yang dikatakan Daniel. Aku memang diciptakan menjadi sosok Bulan yang sebenarnya untuk Bumi. Hanya menyinari dari jauh. Bulan sangat berarti untuk Bumi. Tapi Bumi tidak bisa memiliki Bulan karena Bulan milik jagad raya.
Kini, aku hanya melirik sekilas dan terkekeh. Jika saja posisinya Bumi tetap milikku, aku akan menjawab pujian itu dengan kata yang manis. Tapi kini, posisinya sudah sangat berbeda. "Terima kasih atas pujiannya, Bumi. But, lebih baik kamu memuji calon istrimu. Bukan aku," sahutku yang masih tersenyum manis dan masih menyibukkan diri dengan pekerjaan memasakku.
"Oh iya! Itu kunci kamar kamu," ujarku yang melihat ke arah belakang. "Dan itu!" aku menunjukkan pintu yang terselip di dekat lemari pendingin, "itu kamar untuk kamu tidur sementara," sambungku dan kembali sibuk dengan kerjaanku.
Tahukah kalian apa yang dilakukan Bumi? Ia dari tadi hanya memandangku. Tapi, aku sudah kebal. Ah ... ralat! Lebih tepatnya aku berusaha kebal dari padangan yang memabukkan itu. Aku tidak mau terus menerus dihantui oleh rasa cinta dan sakit hati yang nantinya kembali membuat diriku menyelakakan diriku sendiri. Aku ingin diriku yang dulu hadir di diriku yang sekarang. Ya ... walaupun dengan hati yang berbeda. Dulu, aku memang mencintai Bumi dan aku merasa memilikinya. Tapi kini, aku memang mencintai Bumi, tapi dia tidak bisa lagi kumiliki. Baginya, aku tetap sahabat sehidup sematinya. Tidak akan lebih.
Aku terus menyibukkan diriku dengan memasak. Sedangkan Bumi, aku tidak tahu dia berbuat apa. Karena aku tidak mau peduli dengan setiap yang ia lakukan. Aku bergerak gesit ke sana ke mari dan menghidangkan semangkuk sop ayam dengan sambal kentang kesukaanku. Aku tidak membuat makanan kesukaan Bumi. Sengaja, agar aku tidak terus mengenang kisah dia. Aku harus mengenang kisahku dan harus menjalankan kehidupan yang baru tanpa Bumi walaupun Bumi masih terus berkeliling di hadapanku.
"Ayo makan!" ajakku begitu semua masakanku dan semangkuk nasi putih sudah terhidang di atas meja. Tanpa menunggu gerakan Bumi, aku langsung duduk di kursi dan mulai meraih piring juga mengisinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Friend of Life and Death #Wattys2019
RomantikHidupku sangat menyedihkan. Aku tak tahu kapan happy ending menghampiriku. Awalnya sih, hidupku baik-baik saja bersama Bumi kekasihku. Ah! Lebih tepatnya cinta pertamaku. Aku tidak tahu apa yang terjadi selama aku di Paris. Aku ke sana karena hendak...