Nightmare

6.6K 405 5
                                    

"Kok lo diem aja sih, Lice? Harusnya lo bales perkataannya dia. Yang kegatelan siapa coba, yang murahan siapa coba. Dia kalii."

Erika mengeluarkan emosinya. Sementara aku hanya diam, berusaha bersikap tenang. Padahal dalam hati aku merasa tertusuk-tusuk. Mataku mulai berkaca-kaca, siap menurunkan air mata.

Aku memang cengeng, aku tahu itu. Tapi aku memang sensitif terhadap hinaan orang terhadapku. Apalagi hinaan kejam seperti tadi.

Aku tidak merasa pernah mendekati Patrick maupun Kenny. Aku memang pernah jalan berdua dengan Patrick, tapi itu karena aku hanya menganggap Patrick sebagai teman dan bagiku itu biasa. Apa itu berarti aku cewek murahan?

Aku memang mengiyakan ajakan Kenny untuk menghadiri pesta ini. Apa itu juga berarti aku cewek murahan? Yang mengajak kan Kenny, bukan aku yang memaksa untuk diundang.

Lupakan sajalah...

Aku menghampiri Meli dan berjalan menelusuri lorong kecil menuju ruang acara. Langkahku terhenti ketika melihat Kenny bersandar di dinding lorong. Tiba-tiba aku teringat lagi akan perkataan Erika, dan mataku kembali berkaca-kaca.

Kenny yang melihat itu tertegun, dan bertanya, "Kamu nggak pa-pa? Apa yang terjadi?"

"Itu loh, Pak, si Erika- Aw!"

Aku mencubit lengan Meli untuk menghentikan perkataannya. Ngapain sih pake lapor-lapor segala? Kenny kan bukan pak guru yang bisa menghukum Erika karena sudah berkata kasar padaku. Dia tidak perlu tahu masalah ini.

"Ada apa dengan Erika?" tanya Kenny lagi.

Aku menggeleng cepat. "Tidak ada apa-apa. Kita pulang dulu ya, aku nggak enak badan," ujarku serak. Aku menarik lengan Meli dan berjalan melewati Kenny. Tapi lenganku ditahan.

"Biar aku antar," ucapnya tegas. Ia tampak khawatir.

"Nggak perlu," aku menepis tangannya.

"Ada apa ini?" Aku menoleh dan melihat Patrick.

Bagus, kenapa nggak sekalian orangtua mereka dan Erika juga disuruh kesini?

Patrick yang melihat ekspresiku, langsung menarikku menjauh dari Kenny. "Gue kan udah bilang Kak, jangan sakiti temen gue."

Ini kenapa juga Patrick langsung menyimpulkan sembarang seperti itu? Yang nyakitin aku kan bukan Kenny, tapi Erika.

"Kita pulang aja, biar gue yang anter kalian." Patrick setengah menarik lenganku, dan Meli ikut dari belakang karena aku juga menarik lengannya. Kami keluar dari tempat itu, meninggalkan Kenny yang masih tidak bergeming dari tempatnya.

###

"Gue kan udah bilang, Lice. Kakak gue itu hobi nyakitin cewek, makanya gue ngelarang lo deket-deket sama dia."

Aku memutar bola mataku mendengar perkataan Patrick. Tapi aku sedang tidak ingin berdebat dengannya, jadi aku memutuskan untuk diam.

Tapi Meli berpikiran lain. "Yang salah tu bukan Kenny, Pat."

"Terus siapa?" tanya Patrick bingung.

"Bukan urusanmu," sahutku malas.

Mobil Patrick sudah hampir sampai di kos-kosanku, dan aku sudah tidak sabar untuk turun dari mobil ini.

"Tentu saja urusanku, karna gue suka sama lo!"

Napasku tercekat. Apa kata Patrick tadi? Aku tidak kaget karena dia bilang suka, aku sudah tahu itu. Tapi aku kaget karena dia mengatakannya di depan Meli! Oh damn!

Aku tidak berani melirik Meli. Aku tidak berani melihat ekspresi wajahnya. Dan aku tidak berani mengatakan apa-apa.

Ketika mobil Patrick berhenti di lampu merah, aku langsung membuka pintu dan berkata, "Aku turun disini saja."

Colorful RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang