Take The Risk

6.5K 415 3
                                    

Aku sedang membersihkan meja makan ketika kudengar ponselku berbunyi.

Dengan buru-buru aku membawa piring kotor ke dapur dan menaruhnya di atas bak cuci. Namun saat aku berlari untuk mengambil ponselku di atas meja makan, Dennis -kakakku yang sangat menyebalkan itu sudah mendahuluiku.

"Dennis, balikin hp gueee!" rengekku sambil berlari menghampirinya.

"Kenny?" Alisnya terangkat setelah membaca nama penelepon di ponselku. "Gebetan baru ya?"

"Bukan urusanmu," aku merebut ponselku dari tangannya lalu buru-buru mengangkat sebelum terputus. "Halo?"

"Alice..."

"Mm-hm?" Aku merebahkan tubuhku di atas sofa di ruang tengah, dan ternyata Dennis membuntutiku sambil ikut duduk disampingku.

"Kamu besok balik sini kan?"

"Iya," sahutku sambil memicingkan mata ke arah kakakku itu. Sementara ia memasang telinga hendak mendengarkan pembicaraanku di telepon. "Apasihh," seruku sambil mendorongnya menjauh.

"Kamu ngomong sama siapa?" tanya Kenny bingung.

"Eh, itu kakakku," jawabku sambil menatap Dennis tajam dan dibalas gelak tawa dari lelaki itu.

"Oh... Besok kamu tiba jam berapa?" tanya Kenny lagi.

"Jam tujuh malam. Kenapa?"

"Nggak pa-pa. Yaudah, see you tomorrow, cantik."

Aku mengerutkan kening ketika Kenny memutus sambungan. Sejak kapan kami janjian bertemu besok?

"Kok cepet amat move on dari Terry?" tanya Dennis sambil tersenyum usil.

"Sok tau ih," dengusku sebal. Kakakku satu ini selalu saja mencampuri urusanku. Tapi aku tidak membencinya.

"Berarti belum bisa move on?"

"Yaa udah sih."

"Pasti gara-gara si Kenny itu ya? Siapa sih Kenny itu? Kamu kok nggak pernah cerita-cerita?"

Aku melempar bantal sofa ke arahnya. "Bukan gara-gara dia kok. Emang move on itu harus selalu gara-gara cinta baru? Nggak, kan."

Dennis tertawa, lalu mengelus rambutku lembut. "Nggak juga sih. Tapi yang penting kamu hati-hati aja, jangan sampai kejadian sama Terry terulang lagi. Nggak usah terlalu buru-buru. Pastiin dulu dia itu bisa dipercaya atau nggak, orangnya bakal setia sama kamu atau nggak. Aku nggak mau loh ngeliat adikku yang manis ini sakit hati lagi."

Aku manggut-manggut layaknya seekor anjing. Kakakku ini memang menyebalkan, tapi dia sangat menyayangiku. Bahkan dulu waktu kuceritakan tentang perselingkuhan Terry, dia dengan emosi membara ingin langsung menghampiri Terry dan menghajarnya habis-habisan.

Tapi tentu saja aku melarangnya. Aku tidak mau kakakku menimbulkan masalah. Biarlah dia menerima ganjarannya sendiri.

"Kok nggak ada sih cowok yang kayak lo, Nis. Kalau ada pasti langsung aku pacarin deh."

Dennis tersenyum bangga sambil menepuk-nepuk dadanya. "Kau beruntung punya kakak baik dan cakep kayak aku."

"Tapi kok nggak laku-laku?" sindirku sambil tertawa puas.

"Belum ada yang cocok," sahutnya singkat.

Kakakku satu ini memang perfeksionis. Terlalu memilih-milih. Padahal banyak perempuan yang mengantri untuk mendapatkan gelar sebagai kekasihnya.

"Yaudah, kamu tidur gih," ujarnya sambil mengecup keningku dan berdiri dari sofa. Aku mengamati kakakku sampai ia menghilang di balik pintu kamarnya, lalu akupun beranjak dari sofa menuju kamarku.

Colorful RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang