Insecurity

6.8K 406 1
                                    

Setelah pintu kamar Kenny kututup dari luar, Meli mulai mencolek pipiku berkali-kali sambil berdeham menggodaku.

"Ehm, ada yang ketelan ludah sendiri nih," ujarnya sambil tersenyum usil. "Katanya nggak bakal jatuh cinta sama cowok brengsek macam Kenny. Tapi ternyata luluh juga hati lo."

"Apaan sih," elakku tapi tak berhasil menyembunyikan senyum di bibirku. "Oke, gue bisa jelasin, Mel. Tapi plis jangan bilang ini ke Patrick."

"Lo emang wajib jelasin ke gue. Iya kali gue nggak bego juga, Lice. Temennya aja kalo suka sama Kenny dia udah marah, apalagi cewek yang dia suka. Bisa-bisa kepalanya keluar asap tuh."

Aku tertawa pelan mendengar ekpektasi Meli yang tidak masuk akal itu. Aku bingung kenapa Meli bisa bersikap biasa saja mengenai perasaan Patrick terhadapku. Aku sendiri masih merasa canggung tiap kali ia membahas tentang Patrick denganku.

Kami masuk ke kamar Patrick dengan sikap biasa. Aku dan Meli duduk di hadapan Patrick yang masih berkutat dengan laptopnya.

"Kamu ngapain sih lama amat? Boker ya?" tanya Patrick tanpa memalingkan wajahnya dari laptop. Aku mengangguk mengiyakan, sambil bernapas lega dalam hati. Syukurlah dia tidak mencurigaiku. Aku teringat perkataan Meli sebelum masuk ke ruangan ini dan tiba-tiba memikirkan kemungkinan kepala Patrick benar-benar keluar asap kalau dia tau tentang aku dan Kenny.

Aku sendiri masih tidak percaya kalau aku, seperti kata Meli tadi, bisa menelan ludahku sendiri. Dari awal aku amat sangat yakin bahwa aku tidak akan sebodoh itu untuk jatuh cinta pada seorang Kenny. Tapi beberapa orang akan mengatakan itu sangat wajar, mengingat wajah Kenny yang sangat tampan sehingga mustahil bagi para kaum wanita untuk menolak pesona menggiurkan dari pria itu. Di samping itu ia juga sangat ahli dalam memperlakukan wanita. Jadi kalian bisa mengerti maksudku disini?

I mean, what kind of 'insane' girl could resist that?

###

Patrick mengantar aku dan Meli pulang setelah selesai mengerjakan tugas. Sebenarnya aku ingin melihat wajah Kenny lagi sebelum keluar dari rumah itu, tapi harga diriku tidak semudah itu kukorbankan. Belum lagi membayangkan apa yang akan dikatakan Patrick kalau aku mengatakan 'aku ingin bertemu kakakmu yang super playboy itu karena baru beberapa jam tidak melihat wajahnya, aku sudah merindukannya.'

Hii.. Bahuku bergedik membayangkan kata-kata itu keluar dari mulutku. Bahkan akupun ingin membunuh diriku sendiri kalau aku mengatakan hal gila seperti itu.

Tapi bukankah ini terlalu cepat? Aku bahkan tidak begitu mengenal Kenny. Pria itu juga tidak mengenalku begitu dalam. Tapi kenapa kami jadi seperti ini?

Aku terjaga semalaman memikirkan hal itu. Sekalipun mataku tertutup, tapi pikiranku tidak bisa berhenti memikirkan apa yang akan terjadi setelah ini. Apakah aku benar-benar menyukai Kenny? Atau perasaanku ini hanya sementara saja, sebagai pelampiasan karena sakit hatiku terhadap Terry?

Kalau memang akhirnya aku memilih bersama Kenny, apakah kami akan bahagia? Atau apakah kami akhirnya akan putus juga, dan sakit hati itu akan terulang lagi? Tentu saja aku tidak ingin hal itu terjadi.

Tapi aku juga tidak ingin melupakan Kenny. Aku merasa ada sesuatu yang istimewa diantara kita. Dan apakah aku yakin tidak akan menyesal apabila aku melepaskannya?

Pemikiran inipun terlepas dari keraguanku akan pernyataan Kenny yang bisa saja salah satu dari triknya untuk menaklukkan aku dan setelah itu akan meninggalkanku dan mencari mangsa lain.

Aku ingin percaya bahwa itu semua hanya ketakutanku. Aku ingin percaya bahwa kali ini Kenny sudah berubah dan benar-benar menyukaiku, meskipun aku tidak tahu apa yang istimewa dari diriku yang biasa ini sampai-sampai seorang Kenny mau menanggalkan gelar playboy-nya demi aku.

Colorful RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang