Longing For Him

6.3K 426 5
                                    

"Pulang kampung?"

"Mm-hm," gumamku singkat pada Kenny di telepon.

"Besok?" tanyanya lagi.

"Mm-hm."

Ujian akhir sudah berakhir dan masih ada dua bulan libur semester sebelum perkuliahan dimulai lagi.

Aku sudah membeli tiket pulang untuk menemui keluargaku. Sudah hampir setengah tahun sejak aku terakhir pulang kesana.

Dan sekarang aku sedang packing barang-barang yang akan kubawa, ketika Kenny menelepon untuk menawarkan pekerjaan. Tapi aku menolak dengan alasan ingin pulang kampung.

"Jadi kamu juga nggak bisa ikut acara pernikahan Elena?"

"Agustus kan? Aku udah balik sini lagi kok. Aku disana selama tiga minggu."

Terdengar gumaman singkat Kenny di ujung sana. Lalu setelah beberapa detik, ia bertanya lagi. "Besok aku antar ya?"

"Nggak perlu repot-repot, aku bisa naik taksi kok," tolakku halus. Aku bukannya tidak ingin diantar oleh Kenny, kan lumayan juga bisa hemat uang taksi (hehe). Tapi aku merasa sungkan karena terus-terusan diantar-jemput lelaki itu. Meskipun setiap kali aku menolak dan dia bersikeras.

"Nggak repot kok. Pesawatnya jam berapa?"

Tuh kan...

"Jam satu siang."

"Oke, besok aku jemput jam sembilan. Kita makan dulu, biar kamu nggak kelaparan nanti di pesawat."

Seulas senyum terpampang di bibirku setelah sambungan telepon diputus. Sejak kejadian di bioskop dan perkataan Kenny setelahnya itu, lelaki itu gencar berusaha membuktikan perkataannya. Mulai dari meneleponku tiap malam, mengajakku keluar kapanpun ada waktu kosong, dan menjauhkan diri dari perempuan-perempuan yang mengejarnya.

Sedangkan aku?

Aku bersikap biasa. Tidak menolak maupun berharap lebih dari kebaikan dan perhatian yang dia berikan padaku.

Seorang Alice tidak semudah itu untuk ditaklukkan. Apalagi mengingat kenyataan bahwa aku sudah pernah disakiti dan dia adalah seorang playboy.

Aku sudah memperjelas bahwa aku tidak ingin jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya.

"Akan kubuktikan kalau aku bisa berubah."

Aku mengingat perkataan Kenny waktu kukatakan padanya bahwa aku tidak tertarik untuk jatuh cinta, terutama pada playboy seperti dia.

Karena itulah dia melakukan aksi-aksinya seperti tadi. Untuk membuktikan padaku bahwa ia sudah berubah.

Tapi ketika kau dikhianati oleh orang yang tidak kau sangka bisa setega itu, kau pasti akan kesulitan untuk mempercayai orang lain.

Meskipun aku selalu tersipu setiap kali dia menggodaku, dan jantungku berdegup dua kali lebih cepat ketika lengan atau bahu kami bersentuhan, tapi aku belum bisa menetapkan perasaanku.

Meskipun aku sudah tidak pernah memikirkan Terry, dan menangisi lelaki itu, tapi aku belum bisa menyerahkan hatiku kepada orang lain dan mengambil resiko untuk sakit hati lagi.

Suara dering ponsel memecah lamunanku.

"Halo?"

"Alice, kamu udah beres-beres?"

"Ini lagi packing, Ma. Ada apa?"

"Nggak pa-pa, mama udah nggak sabar ketemu kamu besok."

Aku tersenyum membayangkan sosok Ibuku yang sebentar lagi bisa kupeluk erat.

Colorful RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang