Misunderstanding

6.6K 428 0
                                    

"Untuk tugas ini kalian buat kelompok, satu kelompok tiga orang ya. Besok kalian sudah harus presentasi di depan tentang bahan materi kalian masing-masing."

Setelah mengatakan itu, Pak Udin mengakhiri kelas dan bergegas pergi karena sudah hampir jam makan siang. Dosen satu itu memang lebih sering memikirkan makanan dibanding pelajarannya. Bisa dilihat dari perutnya yang selalu tampak akan menerbangkan kancing kemejanya yang terlalu sempit karena perutnya yang menonjol ke depan.

"Lice, kelompokan sama gue sama Patrick ya." Aku menoleh dan mengangguk pada Meli.

"Kerjanya dimana?" tanyaku sambil mengepakkan bukuku dan memasukkannya ke dalam totebag hitam milikku.

"Rumah Patrick lah, seperti biasa," jawab Meli santai. Aku hanya mengangguk dengan ekspresi datar. Sudah berapa lama aku tidak menginjakkan kaki di rumah Patrick? Dan apakah Kenny ada disana?

Tentu saja Kenny ada disana, itu rumahnya. Aku hanya berharap nanti saat kami kesana, dia sedang tidak dirumah. Keluar bersama Elena kek, apa kek...

Elena... Aku jadi ingat perkataannya tempo hari di toilet mengenai Kenny. Sampai sekarang aku masih tidak mengerti apa maksud dari perkataannya itu. Aku ingin menanyakannya pada Kenny, tapi tidak bisa. Dia mungkin sudah membenciku saat ini. Lagipula aku sendiri kan yang mengatakan hal-hal kejam padanya? Aku sendiri yang menyuruhnya untuk tidak menggangguku lagi.

Setelah dari kampus, kami mampir untuk makan siang lalu menuju ke rumah Patrick. Aku sendiri merasa was-was ketika berjalan menuju pintu masuk rumah tersebut. Bagaimana kalau Kenny ada didalam? Bagaimana reaksinya nanti kalau dia melihatku?

Kami masuk ke ruang tengah, dari situ aku bisa melihat pintu yang menghubungkan ruangan ini dengan ruang kerja Kenny. Pintu itu terbuka dan didalamnya tidak ada siapa-siapa. Hanya ada tumpukan berkas yang berserakan dimana-mana. Aneh, Kenny tidak pernah membiarkan ruangannya berantakan seperti itu. Setiap kali aku masuk kesitu, ruangan itu pasti sangat rapi dan bersih.

"Kakak lo nggak ada?" tanya Meli. Ternyata ia juga melihat apa yang kulihat. Biasanya kalau Kenny dirumah, dia pasti akan berkutat di ruang kerjanya dan menutup pintu itu.

"Ada kok, dia lagi sakit. Makanya kita kerjanya di kamar gue aja ya, biar nggak ganggu soalnya dia lagi istirahat di kamarnya. Kalau kita di ruang tamu nanti malah kedengaran sampe kamarnya."

Meli dan aku manggut-manggut mengerti. Tapi yang ingin kutanyakan saat ini adalah Kenny sakit apa? Kenapa bisa sakit? Apa sakitnya parah? Lihat saja, di saat seperti ini aku malah mengkhawatirkan orang yang sudah membuat hatiku hancur itu. Apa yang salah denganku?!

"Tumben kakak lo sakit, rasanya gue nggak pernah liat cowok itu sakit deh." Meli bersuara lagi.

Patrick mengangkat bahu. "Akhir-akhir ini dia jadi lesu. Kerja juga nggak semangat, sampe-sampe kebanyakan gue yang ambil alih. Makannya jadi nggak teratur, makanya sekarang dia jadi sakit."

"Kayak lagi patah hati aja," gumam Meli, membuatku terbatuk-batuk. "Lo nggak pa-pa, Lice?" tanyanya sambil menepuk punggungku.

Aku menggeleng cepat. Aku tersentak mendengar kalimat Meli barusan. Seorang Kenny bisa patah hati?

"Tapi nggak mungkin ya seorang Kenny bisa patah hati," lanjut Meli lagi. Alisku terangkat, apakah Meli bisa membaca pikiranku? Sejak tadi kok dia bisa menyuarakan pertanyaanku ya?

Sekali lagi Patrick mengangkat bahu. "Bisa jadi sih, soalnya dulu waktu kejadian sama mantannya itu -Helena.. Siapa itu namanya, dia juga kayak gitu gara-gara galau."

Meli tidak melanjutkan lagi. Untuk beberapa saat kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Lalu Patrick membuka suara. "Daripada itu, kita mulai kerja aja yuk. Takutnya nanti nggak selesai."

Colorful RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang