Awal

46.2K 2.1K 74
                                    

Happy reading 😘

"Jika memandangimu adalah dosa, maka aku rela mengoleksi dosa-dosa itu."

***

"Siti Zulaikha menunjukkan kepada orang-orang yang menggunjingnya betapa tampannya Nabi Yusuf as. Hingga akhirnya ia merendahkan dirinya..."

Suara maskulin itu terus bergema pada ruang masjid ini. Semua seakan terbius akan gema merdu yang menyuarakan tentang sejarah nabi.

Aku menopang dagu. Mataku menelisiknya lebih jauh. Memandangnya yang sesekali melempar senyum pada santriwan dan santriwati hingga lesung nya sedikit terlihat. Juga tatapan tajamnya yang selalu melekat pada wajah sempurnanya.

Bahkan, samar-samar aku bisa mencium aroma pelembut pakaian yang selalu di beli mbak Aisyah--khadim dhalem--darinya. Uuuhhh... coba kupeluk, pasti aromanya akan lebih jelas lagi.

Astagfirullah! Dosa Zila! Dosa!

Tapi menggoda.

"Kamu kenapa?" Suara mbak Mia mengganggu fantasiku. Menghilangkan bayang-bayang Gus Yusuf yang tengah tersenyum padaku seorang.

Aku melirik sengit padanya. "Nggak kenapa-napa," jawabku.

"Nggak kenapa-napa kok pipi merah gitu....kamu bayangin apa sama Gus Yusuf?"

Pertanyaan menyebalkan mbak Mia benar-benar membuatku mendelik. Apa sih yang ada dipikirannya? Ngawur banget! Mentang-mentang udah lulus SMA.

"Apa sih?!" balasku.

"Nggak baik lho bayangin yang iya-iya sama gusnya sendiri."

Perkataan mbak Mia mampu membuatku tersedak ludah sendiri, "Mbak Mia!" tanpa sadar aku berteriak. Ia menunduk menghadap kitab seakan sama sekali tak punya masalah. Aku menatap sekeliling dan mendapati pengajian terjeda sejenak. Semua orang memandang kearah termasuk Gus Yusuf.

Ibu....kembalikan aku keperutmu!

***

"Aku benci padamu!" Aku bersungut-sungut menatap mbak Mia. Ia menelisikku. Menghentikan gerakannya yang tengah membereskan kitab-kitab berserakan.

"Kali ini apa lagi?" Tanyanya tanpa beban. Seolah yang kuucapkan adalah hal biasa yang pernah ia dengar.

Memang benar sih, bukan sekali dua kali aku mengucapkan kata itu untuk orang di depanku ini. Sering banget malah. Setiap aku merasa kesal karena ulahnya bahkan sampai menangis. Dan itu hampir setiap hari. 

Tapi tetap saja! Harusnya kan dia minta maaf atau menatapku penuh rasa bersalah seperti kebanyakan orang normal lainnya. Atau jangan-jangan mbak Mia ini memang nggak normal?

"Malah ngelamun," tegurnya.

Aku menggeleng. Mengenyahkan pikiranku yang semrawut. "Jangan pura-pura, deh!" Mbak Mia tersenyum geli. Lalu melanjutkan aktivitasnya kembali. "Ih, kenapa senyum-senyum sendiri? Kesurupan?"

Plak!

Mbak Mia menampar pelan mulutku. Hal yang biasa ia lakukan ketika aku sudah berbicara melantur, Menurutnya.

"Mulutnya ini lho! Baru makan cabai berapa kilo?"

Padahal yang sering menghabiskan cabai kalau sedang makan gorengan kan dia. Kenapa sekarang dia memfitnah ku memakan cabai berapa kilo?

Eh tunggu...

Itu pertanyaan, bukan pernyataan.

"Jangan mengalihkan pembicaraan deh! Tadi kenapa Mbak nggk ikut ke ndalem?" Protesku.

Karena kejadian tadi aku disuruh menghadap Gus Yusuf secara pribadi untuk dinasehati--dimarahi--serta diberi wejangan apa saja yang terlintas dipikirannya. Yah....meskipun aku sama sekali tidak fokus tentang apa yang ia sampaikan, tapi lebih menikmati suaranya yang berat. Khas lelaki dewasa.

"Oh masalah itu. Kan kamu yang dipanggil. Terus....bukannya kamu malah seneng berduaan sama Gus Yusuf?"

"Berduaan apanya?! Tadi juga di temenin mbak Aisyah." Rasanya juga masih kesal. Kenapa ada mbak Aisyah diantara kami?

Alis mbak Mia mengerut, "kenapa bisa ada Aisyah?" tanyanya.

"Katanya supaya nggak ada setan diantara kami."

Mbak Mia tergelak. Apa segitu lucunya jawabanku barusan? Aku nggak ngerti.

"Mbak Mia!" Lagi. Aku berteriak padanya. Kali ini untuk menyadarkan dirinya yang terus tertawa.

"Haduh!" Mbak Mia mengerang kesakitan ketika pahanya kucubit dengan sekuat tenaga.

Ia menatapku kesal. Tapi aku tak peduli. "Mbak, aku ini sedang kesal. Kenapa malah diketawain?"

Lalu wajahnya perlahan serius. "Zil, kam kesal karena ada mbak Aisyah diantara kalian tadi?" Aku mengangguk cemberut, "Kamu segitu sukanya sama Gus Yusuf?" kembali mengangguk.

Helaan napas terdengar dari mulutnya. Seakan lelah dengan jawaban yang kuberikan.  "Terus kamu mau apa dengan perasaan itu?"

"Mengutarakannya, lah," jawabku cepat.

Mbak Mia mengelus kepalaku. "Yakin gus Yusuf mau nerima kamu?"

"Kenapa nggak?" Aku merasa tersinggung dengan pertanyaan Mbak Mia. Memang aku ini jelek banget?

"Perbedaan umur kalian terlalu jauh. Gus Yusuf  25 sedangkan kamu baru 17 tahun. Kamu ini masih anak kemaren sore buat dia!" Mbak Mia menaikkan suaranya.

"Lha terus gimana dengan perbedaan usia Nabi dan Siti Aisyah? Mereka bahkan seperti ayah-anak!"

"Itu beda Nazila Aisyah!"

"Bedanya dimana?" Aku masih kekeh. Tak mau menerima alasan Mbak Mia tentang perbedaan umur diantara aku dan gus Yusuf.

Mbak Mia mengurut keningnya. Ia menggungguk dengan lelah. Merasa capai menghadapi kekeraskepalaanku. 

"Oke. Lakukanlah. Tapi setahuku, Gus Yusuf bukan penyuka gadis agresif."

Aku mengangkat alis. Merasa ragu akan jawabannya.

"Tahu darimana?"

Menatapku lekat sembari mengangkat sudut bibirnya. Merasa senang dengan apa yang akan ia katakan. "Kamu lupa? Aku ini masih sepupunya."

***

Maafkan daku yang menelantarkan cerita ini. Bukan maksudku untuk melupakannya, tapi... ide untuk menulisnya benar-benar nyandet. Maka dari itu saya minta do'a supaya ide selalu mengalir lancar bak sungai Nil. Hehehe 😃😃

Kalau bisa saya akan update cerita ini dua hari sekali gantian  sama Filosofi Senja. Cerita aku yang lain. Baca yaaaaaaaaaaaaahhhhhhhh.

Ngarep!

Akhir kata, semoga terhibur. 😀

Love You, Gus! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang