27 # Kesurupan

9.7K 768 30
                                    

"Kamu nampak bahagia." Mbak Laila menunjukkan keheranan. Tentu saja, bagaimana tidak?

Kebanyakan anak akan merasa takut ketika dipanggil ke ndalem bersama dengan orang tua mereka. Lantas, mengapa Farah terlihat sumringah?

Ah, aku lupa. Dia gila.

***

Happy reading 😘

Aku menunduk. Duduk dan diam. Memandangi serpihan pasir dari semen yang mengelupas. Tanganku mengulur. Menjumputi. Perlahan, aku memainkannya.

Dan ...

Tetesan air jatuh dari atas. Aku mendongkak. Melihat langit. Bersih. Tak ada mendung. Di sana hanya berhiaskan gemilang dan rembulan yang tertutup awan. Malam ini tak seperti sebelum-sebelumnya.

Biasanya kemarin selalu hujan. Dan entah aku harus bersyukur atau tidak, malam ini hujan tak melintas. Lalu dari mana air ini?

"Zila." Itu suara Mbak Aisyah. Aku tak menoleh. Memilih mencari tahu asal air tadi.

"Zila, kamu menangis?"

Aku? Menangis? Sejak kapan?

Refleks tanganku meraih sisi hidung. Dan ya, aliran air itu berasal dari kelopak mataku. Mengusapnya perlahan, aku memalingkan wajah. Tak mau Mbak Aisyah melihat penampakan wajah piasku. Memalukan!

"Zila, kamu mengkhawatirkan besok pagi?"

Kembali menunduk. Perlahan aku membuang napas. "Iya. Besok ayah dan bunda akan ke sini. Tadi sudah menelpon."

Hening.

Tak ada sahutan lebih lanjut dari Mbak Aisyah. Aku tahu, dia Kini sudah duduk di sebelah kiriku. Memangku wajah. Memandang langit. Itu kebiasaan Mbak Aisyah. Dan aku menghafalnya.

"Zila, kamu mau dengar sebuah cerita?"

Aku menoleh. Hanya memandang sekejap kemudian kembali memandangi lantai semen. Biasanya jika seperti ini Mbak Aisyah akan memulai kisahnya sendiri. Tanpa persetujuan atau apapun. Dia hanya memberi tahu. Dan aku siap mendengarkan.

"Dulu, ada seorang anak yang sangat sangat sangat bandel. Lebih bandel dari seseorang yang mbak kenal." Aku meliriknya. Sepertinya aku tahu siapa anak itu.

"Dia tidak pernah mengerjakan PR. Sering bolos dan nyaris dikeluarkan." Ada jeda. "Tapi satu hal yang sangat unggul dalam dirinya. Dia tak pernah menyakiti temannya. Loyalitas terhadap kawan adalah nomor satu. Iya, mungkin bagi gurunya--dia anak yang harus disingkirkan. Namun bagi teman-temannya ... dia adalah orang yang mereka sayangi."

Aku berpaling padanya. Dia tersenyum hangat pada rembulan yang sudah nampak jelas. Berbentuk sabit seperti lengkungan bibirnya. Jika seperti ini, aku selalu berpikir bahwa Mbak Aisyah secantik Siti Aisyah.

"Dari cerita tadi, kamu bisa menyimpulkan sesuatu?"

Mbak Aisyah kini memandangaku. Tangannya terulur pada kepalaku. Menepuk perlahan. Dia menenangkan. Senyumnya hangat.

Aku menggeleng sebagai jawaban.

"Semua hal tak bisa dilihat dari satu sudut pandang. Kamu harus melihat dari sisi yang lain. Seperti cerita anak tadi, Dia mungkin tidak disukai nyaris oleh setiap guru, namun teman-temannya menyayanginya. Tak semua hal yang kamu lihat dengan mata kepala sendiri itu benar. Ada kalanya, kamu harus melihat dari sudut pandang orang lain."

Mbak Aisyah tengah mencoba menganalogikan aku dalam cerita itu. Ada pesan untuk tak selalu melihat Farah dengan hal yang buruk. Ya ... itu memang sifatnya.

Love You, Gus! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang