"Jika kamu lelah, seharusnya kamu istirahat atau sekalian tidak usah mencari pelakunya. Bukan malah mendengar omong kosong dari orang lain!"
Andin berdiri. Beranjak pergi melewati pintu. Dia marah. Aku yakin itu. Ya Allah ... apa yang telah aku lakukan?
***
Aku menunduk dalam. Membuang napas berulang kali. Masih sesak. Tidak nyaman. Perasaan ini terus memburu usai kemarahan Andin tadi. Ada yang bilang kalau jika selesai wudlu dan sholat membuat perasaan akan membaik. Tapi kenapa rasanya masih sama?
Apa karena aku yang tak khusyu'?
Atau kadar keimanan yang tak mumpuni?
Entahlah. Yang jelas aku tidak enak dengan Andin. Sepertinya aku salah menanyakan hal yang tidak seharusnya pada Andin. Lagi pula itu kan kabar dari si Nenek Lampir. Orang yang seharusnya tak pernah kupercayai.
Aku menyesal. Teramat sangat. Aku menoleh. Beberapa santri membaca lantunan wirid. Dan aku hanya diam. Biarlah ... Suara mereka sudah bergema nyaring memenuhi ruangan mushola putri ini.
"Zila, bagaimana? Benar bukan?"
Suara orang yang paling kubenci seantero pesantren. Aku mengepalkan tangan. Dia duduk di samping kiriku. Kenapa juga sih dia mengambil tempat di sampingku? Tidak ada tempat lain ya?
Bergeming. Untuk apa membalasnya. Tidak berfaedah. Apa yang diucapkannya hanyalah bualan. Dan aku tadi termakan oleh omong kosong itu.
"Hey, aku bertanya padamu."
Sekali lagi, aku mengacuhkannya. Memilih berdo'a mengikuti imam. Karena terlalu fokus pada pikiran, aku bahkan sampai tak mendengar imam telah sampai pada akhir.
"Kamu tidak menjawabku, jadi benarkan dia yang melakukannya ...," ujarnya lagi. Dia masih melanjutkan pertanyaan tak bermutunya.
Aku mengusap wajahku. Do'a telah usai. Dan para santri juga sudah bergegas membereskan mukena dan sajadah. Aku juga begitu. Berusaha mengikuti. Namun sekali lagi, Mak Lampir itu mengganggu pendengaranku.
"Aku benar 'kan? Melihat kamu yang hanya diam ini. Pasti kamu sangat kecewa."
"Ya! Aku sangat menyesal kenapa mempercayai omong kosongmu itu. Seharusnya aku lebih yakin dengan kata hatiku kalau kamu yang melakukannya! Kamu yang merusak kitabku! Kamu ingin mengambang hitamkan Andin!"
Aku berteriak. Menatapnya tajam. Dia terus memggangguku. Dan bukan salahku jika melampiaskan kekesalan ini padanya. Karena sumber semua masalahmu hari ini adalah dirinya. Dasar Mak Lampir!
Aku tidak peduli banyak melihat. Atau akan ada kasak-kusuk dibelakang. Biarkan. Biarkan saja. Aku muak. Melihatnya yang masih tenang bahkan nyaris membawa tanganku untuk menamparnya.
Dia masih diam. Begitu tenang. Tangannya memeluk sajadah. Namun beberapa detik kemudian suara tawa memekik nyaring di mushola. Bulu kudukku meremang. Farah tertawa keras. Dia mendongkak demi memperlancar suaranya keluar. Belum lagi dengan tangan yang memudar dan berganti pada pinggang. Menyangga deng lengkungan.
Aku bergidik. Orang ini tidak waras.
"Memang! Aku ingin kamu membencinya! Aku ingin kamu tidak memiliki teman. Aku benci melihatmu yang selalu dikelilingi kebahagian. Aku tidak suka banyak yang mendukungmu! Kamu tidak pantas. Hanya aku yang pantas. Tidak ada orang yang pantas mendapatkan perhatian itu selain aku!"
Dia mendorongku. Aku terhuyung. Terlebih dengan Makena yang masih melekat pada tubuh. Aku terjatuh di depannya.
"Bagaimana? Sakit 'kan? Itu belum seberapa ketika melihat kamu bahagia. Ketika kamu dikelilingi orang banyak!" Dia berteriak keras. Diikuti dengan tawa yang entah untuk apa. Dari kalimatnya yang sama sekali tidak ada yang lucu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love You, Gus! (END)
General Fiction#rangk 3 in pesantren entahlah... banyak hal yang berubah.. banyak hal yang terlupakan. waktu menghapusnya. waktu menutupnya dan waktupun yang merubahnya. tapi kenapa? kenapa waktu tak merubah perasaanku atas dirimu? tak menghapusnya atau menc...