9 # lalu siapa?

12.6K 949 3
                                    

"Zila," Panggil Mbak Aisyah.

Tak hanya aku yang menoleh, Mbak Mia juga. Sepertinya untuk sekarang ia memang sependapat denganku.

"Kamu tidak menepati janjiku kepada Mbak, Mbak tidak mas--"

"Aku akan menepati janjiku sekaligus memenangi tantangan itu. Jangan lupa, arti dari namaku, Mbak." Aku tersenyum sinis. "Titisan Aisyah."

*** 

Nazila Aisyah. Dulu aku sangat membenci nama itu. Mengingatkanku pada seseorang yang sering menindasku ketika sekolah dasar. Orang sok kecantikan yang mengira aku menjiplak namanya. Hell aku sama sekali tak menginginkan nama itu. Orang tuaku yang dengan bangga memberikan nama itu. Entah atas dasar apa, tapi ketika aku menanyakannya mereka akan menjawab bahwa nama itu terkeren.

Keren?

Sama sekali tidak. Nama itu seperti kutukan. Aku bahkan harus di cap sebagai peniru hanya karena nama yang mirip. Oleh karena itu aku sering menyingkat namaku menjadi Nazila A. Tak pernah ada embel-embelan Aisyahnya. Tapi …. Itu hanya bertahan sebentar. Seseorang mengatakan bahwa nama Aisyah itu yang terbaik. Ia menceritakanku beberapa penggal kisah mengenai seorang wanita di zaman rasulullah. Dia bernama Aisyah, putri dari sahabat nabi, yakni Abu Bakar. Dan dari sanalah aku mulai ingin mengenal siapa wanita yang bernama sama denganku.

Kalian tahu apa yang kupikirkan setelahnya?

Aku merasa tidak ada yang pantas menyandang nama itu selain beliau. Bahkan aku sekalipun. Lalu anak SD yang sering membullyku dulu? Dia sama sekali tak ada pantas-pantasnya menyadang nama suci itu. Aku tahu orang tuanya memberikan nama itu sebagai do’a agar anaknya dapat mewarisi sifat-sifat mulia istri terkasih nabi, tapi aku tidak salah bukan jika mengatakan itu gagal? Bagaimana tidak, orang yang suka membully sama sekali tak mewarisi sifat apapun dari Siti Aisyah. Apalagi kecantikan? Aku jamin, jika menyadingkan wajahnya denganku sekarang, ia pasti akan beringsut malu. Bukannya sombong, wajah yang ia bangga-banggakan dulu, kini seakan telah berganti menjadi sosok lain yang tertutup sinarnya. Meredup dan hilang. Siapa suruh memakai bedak yang lebih cocok untuk orang tua ketika dia masih di usia belia? Itu kesalahannya bukan?

Hahaha ….

Mengingat itu aku benar-benar ingin tertawa. Apa kabar dengannya sekarang? Masihkah dia menyatakan bahwa aku menjiplak namanya, hanya karena dia lebih dulu lahir beberapa bulan sebelum aku? Ya allah dosakah aku menertawakannya? Aku tahu benar, beberapa tahun lalu orang tuanya bercerai dan kini tinggal dengan nenek. Kasihan, tapi jujur, aku masih gemas juga. Huft!

“Zila, gawat!” lengkingan suara andin menyapu genderang telingaku. Ada apa dengan anak itu?

Wajahnya terlihat dari depan pintu pesantren. Tangannya memegang kitab dengan bercak noda kopi hamper sebagian halaman. Tunggu …. Buakankah itu –“Zila, kitabmu!” seru Andin lirih.

“Kenapa bisa?” seingatku semalam menarunya diatas meja tanpa ada kopi disekitarnya. Lalu kenapa bisa ada noda ini? “Kamu yang menumpahkannya?” tuduhku.

Andin mendelik. “Buat apa? Nggak ada faedah banget aku numpahin kopi di kitabmu.”

“Siapa tahu kamu nggak sengaja menumpahkan. Kamu kan suka banget sama kopi.”

“Orang ini ya! Buat apa pagi-pagi aku minum kopi? Belum sarapan lagi! Aku juga masih sayang sama lambung aku, Zila!” sanggahnya. Lebih pada nada sarkas.

Aku mengembusakan napas gusar. Benar juga, buat apa  Andin minum kopi di jam enam-an seperti ini. Waktu mengantri mandi untuk sekolah atau berpiket. Perlahan aku membuka kitab fathul qorib  ini. Ya Allah! Aku benar-benar ingin mengumpat. Siapa sih yang tega menumpahkan kopi pada kitab tersayangku? Berani sekali dia?! Awas saja kalau aku tahu.

Aku duduk pada lantai. Berusaha mengurai emosi yang menyentuh ubun. Astagfirullah. Astagfirullah. Astaghfirullah. Berulang kali aku mengulang kalimat itu. Jika terbawa emosi, aku yakin, pasti bukannya menemukan solusi, aku malah akan terbawa amarah.

Andin menyodorkan tisu. Wajahnya merah padam. Sepertinya dia juga tengah menahan marah. Apa karena kalimatku tadi? Secuil rasa bersalah mulai tumbuh.

“Maaf telah menuduhmu.” Tangananku meraih tisu itu. Andin mengangguk. Segera kukeringkan kertasnya.

La ilaha illaallah!

Aku benar-benar ingin menagis sekarang. Nodanya telah mongering. Berarti kopi itu ditumpahakan sejak semalam. Lebih tepatnya adalah lebih dari tangah malam, karena aku selasai belajar mungkin pukul satu. Entah lebih atau kurang.

Tapi siapa? Aku yakin, hanya beberapa orang yang masih sadar pada jam segitu. Dan semua orang itu kukeanal dengan baik. Mbak Aisyah dan Mbak Mia tak menyukai kopi. Lalu siapa?

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Love You, Gus! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang