15 # malu

11.9K 1K 14
                                    

Mbak Aisyah dan Andin tertawa. "Tuh kan, mereka nggak bisa dipisah."

Aku menghentikan gerakan cendok ku. Menatap tajam Mbak Aisyah dan Andin yang masih tertawa.

"Mbak Aisyah!"

"Aisyah!"

Aku dan Mbak Mia saling memandang. Dan tawa mereka semakin terbahak. Hush! Ini kejutan yang menjengkelkan!

***

"Tsumma qaala wa Allahu a'lam bis showab."

Gus Yusuf menutup pengajian. Beberapa santri sudah mulai mengemasi kitab dan alat tulis. Aku juga begitu. Bersiap berdiri. Menyusul para santriwati yang tengah menunggu antrian keluar. Aku berhenti beberapa langkah dari mereka. Memilih memandang dari sini. Tak ingin bergabung. Terlalu malas berdesak-desakan. Seharusnya pesantren menyediakan pintu keluar santri putri lebih satu atau paling tidak agak di perlebar sehingga tak harus berebut seperti itu.

Aku menyadarkan punggung pada dinding. Membuang napas jengah, aku mengalihkan wajah pada Andin. Dia juga tengah menunggu. Tepat di sampingku. Bedanya, dia nampak kalem dan biasa saja. Sama sekali tak terlihat kejengkelan. Ah, ya ... dia sudah terbiasa.

"Lama ya, Ndin?"

Aku memberikan pertanyaan retoris. Andin hanya tersenyum tipis.

"Sabar saja, Zil," sahutnya. Suaranya rendah dan kalem.

Semenjak dia mencurahkan isi hatinya, sikapnya berubah. Ucapannya tak sepedas dulu. Bahkan aku merasa jika dia juga kalem. Mirip dengan Mbak Aisyah. Aku tak tahu, entah itu efek dari dia sering bergaul dengan Mbak Aisyah atau karena dia sudah mengeluarkan bebannya. Aku tak terlalu peduli. Yang terpenting Andin sudah tenang. Tak seperti dulu yang suka meledak-ledak. Dan juga ... dia tak sepenakut dulu. Kudengar sekarang dia sudah berani melawan Farah. Seharusnya dari dulu dia melakukan itu.

"Assalamualaikum."

Salam itu terdengar berat. Aku mengenali suara itu. Buru-buru aku menegakkan tubuh. Menunduk dalam-dalam. Aroma pewangi baju menyeruak mendekat.

Aku menghentikan napas. Jantungku berdegup kencang. La ila ha illallah. Kuatkan jantungku.

"Wa---waalaikumsalam," jawabku. Gugup sudah. Suaraku bergetar. Duh, Zila! Bisa tidak sih, nggak usah salah tingkah dulu?!

Senggolan dari tangan Andin semakin memperkeruh mental. Andin, ngapain sih nyenggol-nyenggol?! Huft!

"Nazila Aisyah. Benar?" tanyanya. Aku mengangguk. Berusaha mengeluarkan suara namun tak menemukannya. Yang ada hanyalah gemuruh detak jantung.

Ya Allah ... semoga aku tidak pingsan.

"Kamu yang akan muroja'ah kitab kepada saya, bukan?"

Aku mengangguk lagi. Andin semakin gencar menyenggol. Apaan sih anak ini?! Nggak tau apa kalau aku sedang menenangkan jantung yang menggila?

"Jangan terlalu gugup. Santai saja." Gus Yusuf terkekeh. Aku sedikit mendongkak. Giginya yang rapih menampakkan diri. Matanya menyipit. Bulu matanya melengking melindungi kelopak. Hitam legam diantara kulit langsatnya.

Love You, Gus! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang