"Tapi kata Aisyah, kamu juga kelas XII. Apa kamu sanggup menerima tugas ini? Satu bulan lagi kamu juga ujian nasional. Pasti akan sangat memberatkan. Berhubung hampir seluruh ustadz dan ustadzah memilihmu, jadi Abah mencoba meminta persetujuanmu."
Tanganku bergetar. Air mata merebak. Ingin rasanya aku bersujud syukur. Di sini. Di ruang tamu ndalem. Berhias kitab-kitab di dinding. Mereka menjadi saksiku. Dengan mengucap syukur berulang kali di dalam hati, aku mengangguk yakin. Senyum melebar, "saya bersedia menjadi pembaca kitab di panggung haflah nanti, Abah."
***
Happy reading 😘
"Selamat, Zila." Mbak Aisyah menyambutku dengan pelukan ketika aku keluar dari dhalem. Ia tersenyum lega dan itu menular padaku. Aku bersyukur. Sangat. Bagaimana mungkin aku tak ingin memanjatkan puji pada-Nya atas nikmat yang beliau berikan. Air mataku sudah tumpah semenjak tadi. Aku hanya bisa menangis sebagai bentuk kebahagiaan.
"Makasih, Mbak." balasku disela isakan. Mbak Aisyah mengangguk kemudian menggiringku ke kamar yang berada di lantai dua. Sepanjang jalan banyak yang menanyakan dan kami hanya menjawab, "telah terjadi hal baik," itu saja sudah cukup.
"Kalian kenapa?" tatapan heran Mbak Mia nampak usai kami membuka pintu bilik. Aku tersenyum lebar sebelum memeluknya.
"Terimakasih," ucapku.
"Ada apa, sih? Jangan buat aku penasaran! Syah, dia kenapa?!" gerutu Mbak Mia, tapi tak menolak rengkuhanku.
"Zila ... dia--dia berhasil menjadi pembaca kitab."
"Sungguh?!" Aku mengurai pelukan dan Mbak Mia memandangku penuh keharuan. Aku mengangguk. Lunas sudah janjiku. Menang pula tantangan itu. Aku ingin melihat bagaiman rupa gadis sombong itu ketika kuberikan kabar ini. Apakah sock? Atau lebih parah dia pingsan?
hahaha .... semoga salah satunya, atau mungkin keduanya. Aku tak masalah. Ah, mengingat si sombong itu, aku jadi ingin melihat Andin. Dia pasti bahagia.
"Mbak, aku mau cari Andin. Dia pasti senang." pamitku. Tanpa menunggu jawaban, aku segera melangkah keluar. Berjalan menuju kamarnya, yang kudapati hanya sesosok mahluk yang sama sekali tak ingin kusebut namanya. Tatapanku memicing dengan bibir terkatup rapat.
"Di mana Andin?"
"Tau! Cari saja sendiri!" balasnya sembari meneguk air dari gelas. Respon seperti itu sukses membuatku naik pitam. Tak ingin menggubris, kakiku segera meninggalkan area kamar itu. "Oh iya, kalau ketemu, nanti bilangin ya ... nggak usah sok berani sama aku. Dia tuh bukan apa-apa."
Kepalaku menoleh, "apa maksudmu?"
"Tanyain aja sendiri ... dia lebih paham." orang itu mengendik acuh. Dan tanganku benar-benar gatal untuk merobek mulutnya. Dasar dedemit!
Kakiku kembali melangkah menjauhi kamar ini. Lebih baik mencari di tempat lain. Tapi, kira-kira di mana Andin? Di Madrasahkah? Tapi untuk apa? Ini sudah hampir magrib. Lalu di mana? Kamar mandi? Bukan. Di jam seperti ini pasti ramai santri yang mengantri mandi. Dan Andin tipikal orang yang menyukai ketenangan. Ah, mushola putri!
"Andin?" panggilku. Ia mengusap kasar wajahnya, kemudian cepat-cepat melipat mukena. Ada apa ini? 30 menit lagi waktu maghrib. Tidak biasanya Andin baru menyelesaikan sholatnya. Ia itu orang yang tak suka meninggalkan jamaah. Lalu kenapa dia masih di sini dan baru melipat mukena? "Andin. Kamu kenapa?" tanyaku ketika melihat hidung merah serta matanya yang bengkak. Aku yakin dia baru menangis hebat. Apa ini ada hubungannya dengan perkataan si sombong tadi?
Andin menggeleng. Pandangannya mengarah ke bawah. "Nggak ada apa-apa, Zil. Cuman pilek aja. Oh iya, kamu ngapain nyariin aku?" ia bertanya untuk mengalihkan perhatian. Sayangnya ia salah orang. Aku ini Nazila Aisyah. Tak akan mudah dibodohi. Secara tak sengaja aku melihat memar di pergelangan tangannya. Apa yang terjadi? Itu seperti bekas pukulan.
"Tanganmu kenapa?" Aku mengenggam tangannya. Mengamati sekilas sebelum ia menarik tiba-tiba. Bukankah ini semakin mencurigakan?
"Kamu nggak perlu tahu."
APA?! Bagaimana ia masih bisa membalas dengan jutek seperti itu ketika ada luka menganga di tubuhnya. Aku menggeleng miris.
"Siapa yang menyakitimu?"
"Apaan, sih!" ia berusaha berdiri, tetapi aku mencekal tangannya.
"Apakah Farah? Iya?" Aku sudah tak peduli dengan menyebut nama itu. Diamya Andin adalah jawaban. Farah ... Bagaimana dedemit itu tega melukai temanku? Apakah karena aku? Karena dia takut kepadaku? Dasar pengecut!
Aku bergerak cepat menuju kamar bercat abu-abu itu, persis seperti penghuninya. Tidak jelas. Tanpa ba bi bu, kakiku menggebrak keras pintu kayu. Semua yang ada di dalam terperanjat. Ada empat orang. Salah satunya sangat kukenali. Dengan cepat aku menarik kerudungnya berdiri. Semua memekik.
"Apa yang kamu lakuin, hah?" dia melepaskan kasar tanganku.
"Seperti apa yang kamu lakuin sama Andin. Impas bukan?"
Tanganku mencengkram erat pergelangan tangannya. Matanya memerah lalu bola matanya bergulir pada satu objek, yang bisa kupastikan itu Andin.
"Dasar tukang adu! Kamu itu memang pantas mendapatkannya. Seorang pengkhianat bahkan layak menerima lebih dari itu!" seringainya mengembang miring. Dasar iblis!
"Pengkhianat? Penghianat apa maksudmu?"
"Semua anggota kamar ini harusnya mendukung aku yang menjadi pembaca kitab. Tapi ... dia memberontak. Ia lebih memilihmu ketimbang aku!"
Aku tertawa sumbang. Mengejek dan membuat wajahnya semakin murka. Yeah, itu tujuanku. "Dengan itu kamu benar-benar menyatakan dirimu pengecut." Mendengus dan melirik sekitar. Hanya tinggal satu orang anggota kamar dan Andin. Mungkin dua orang tadi berlari ketakutan. "Ck, cemen," sambungku.
PLAK!
Satu tamparan mendarat. Pipiku berdenyut perih. Kurang ajar, berani sekali dia melepas tangan pada Nazila? Butuh pembalasan berapa kali lipat dia?
"Zila!" Andin berhambur. Berusaha menarikku dari kamarnya. "Jangan, Zil. Please ...." Air mata itu luruh. Ada ketakutan yang tersimpan. Juga Kekalutan yang berusaha disembunyikan. Sebenarnya, apa yang dilakukan iblis ini pada Andin?
"ADA APA INI?!"
*
**
KAMU SEDANG MEMBACA
Love You, Gus! (END)
General Fiction#rangk 3 in pesantren entahlah... banyak hal yang berubah.. banyak hal yang terlupakan. waktu menghapusnya. waktu menutupnya dan waktupun yang merubahnya. tapi kenapa? kenapa waktu tak merubah perasaanku atas dirimu? tak menghapusnya atau menc...