"Takutnya kalau nggak jodoh, kamu yang akan tersakiti." Dia menjauh. Mengambil kitab yang tergeletak. "Nanti kalau kamu yang tersakiti aku juga yang repot karena pasti kamu bakal teriak-teriak ke aku," lanjutnya.
Sekali lagi aku melemparkan selimut yang baru ingin kulipat. Ucapannya itu lho, unfaedah banget. Dia mengulurkan lidah dan berlari keluar.
Dasar, kekanakan!
***
Tanganku mengetuk gemas permukaan dampar. Sesekali juga meremas ujung jilbab. Mengambil dan membuang napas, kulakukan sudah berulang kali. Namun rasa gugup masih menyelimuti.
Mataku kembali menekuri orang itu. Seorang hamba ciptaan Allah. Berkopyah hitam polos. Kontras dengan kulitnya yang langsat.
Gus Yusuf tengah membolak-balikkan kitab kuningnya. Sesekali kedua alis itu berkerut. Sepertinya sedang berpikir serius. Sudah sepuluh menit berlalu sejak teman-temanku meninggalkan kelas.
Tadi Gus Yusuf sudah menanyai tentang hafalan nadzom Umrithi dan fashal mana yang sudah kukuasai. Aku sama sekali tidak mengerti koherelasi antara nadzom nahwu dengan kitab fiqh. Mungkin itu untuk kelangsungan muwadda'ah nanti.
"Begini saja. Masalah fashal saya akan mengambil beberapa sampel pada tiap bab. Nanti setiap pertemuan kita akan mengadakan sorogan. Bagaimana?"
Aku mengangguk, "enggeh, Gus."
Gus Yusuf ikut menundukkan kepalanya. Beliau membereskan kitabnya yang sedikit berantakan. Sepertinya begitu semangat membolak-balikkan. Lucu sekali. Senyumku tanpa sengaja terbit.
"Kamu sepertinya ingin tertawa. Ada apa?"
Glek!
Apa terlihat? Aku menelan paksa air liurku. Sedikit berdehem. Untuk menetralisir kegugupan yang semakin mengerumuni hati.
"Mboten, Gus. Cuman ingat kejadian lucu saja," jelasku berbohong. Mana mungkin aku bilang karena tingkahnya? Yang ada malah Gus Yusuf mundur menjadi guru pembimbing. Kan sayang ...
"Oh begitu," Gus Yusuf ikut tersenyum. "Tadi hari apa saja kamu ada les di sekolah? Saya lupa," tanyanya.
Lupa? Ternyata Gus Yusuf juga manusia biasa. Astagfirullah, Zila! Tentu saja Gus Yusuf manusia biasa. Dia itu masih anak manusia, bukan malaikat!
"Hari selasa, rabu, sabtu dan ahad, Gus."
"Ada empat hari. Hmmm ..."
Gus Yusuf sedikit menundukkan kepala. Bertopang pada tangan yang menyanggah serta jemari meraba pelan permukaan kulit itu. Gus Yusuf memejamkan matanya. Berpikir keras. Sepertinya begitu berat.
"Hari saya yang benar-benar luang itu hanya selasa dan rabu." Ada nada menilai. Tapi bukan meminta pendapat. Aku hanya diam. Tak berani merespon.
"Hari kamis sebenarnya agak luang. Hanya saja saya cuma bisa sore. Menjelang maghrib. Mungkin jam lima lebih sedikit. Tapi saya usahakan jam lima sudah bisa dimulai. Bagaimana?"
Aku menimang. Sepertinya tak ada yang salah. Tak masalah juga jika memulai ngaji jam segitu. Toh masih dikingkungan pesantren apalagi dengan ustadz pembimbing seperti dua langkah di depanku ini.
Aku tersenyum kecil. Meremas kain sarung. Gemas juga. Kenapa gugup ini belum hilang? "Kulo manut, Gus."
Gus Yusuf mengembangkan senyum kecil. Nyaris seperti seringai. Biasanya jika aku lihat di sinetron, yang melakukan itu adalah orang jahat dan wajahnya akan jadi serem. Tapi kok ini beda? Malah muka Gus Yusuf tambah berkali-kali lipat ketampanannya. Duh ... jantungku mulai berulah. Bisa tenang nggak sih?
KAMU SEDANG MEMBACA
Love You, Gus! (END)
General Fiction#rangk 3 in pesantren entahlah... banyak hal yang berubah.. banyak hal yang terlupakan. waktu menghapusnya. waktu menutupnya dan waktupun yang merubahnya. tapi kenapa? kenapa waktu tak merubah perasaanku atas dirimu? tak menghapusnya atau menc...