Ya Allah ... jantungku kembali bergetar hanya dengan memikirkan itu. Betapa Engkau membuat aku terpikat begitu dalam dengan makhlukmu.
"Kamu mengerti apa yang di maksud dalam kertas itu?"
Aku mengangguk antusias. "Ini persiapan untuk kencan nanti,"
***
Happy reading 😘
Jangan lupa, tandai typo dan kalimat rancu!
"Jadi di sini kitab ini menjelaskan, bahwa air itu ada tujuh jenisnya yang bisa untuk sesuci atau bebersih, yakni satu, air langit artinya air yang turun dari langit atau bisa di sebut hujan. Yang ke dua adalah air laut atau air asin, ketiga air sungai atau air tawar, ke empat air sumur, kelima air sumberan (mata air), ke enam air es, ke tujuh embun."
"Sudah, bernapas dulu. Tidak usah terburu-buru. Santai saja, Nazila," teguran Gus Yusuf membuatku sadar. Apa aku benar-benar tidak bernapas tadi? Pantas saja rasanya sesak.
Fyuh ....
Seharusnya aku menyadarinya. Kenapa juga aku seperti orang kesetanan tadi? Membaca kitab dengan begitu runtut tanpa jeda sampai-sampai mengabaikan oksigen yang merupakan kebutuhanku juga. Payah!
Aku mendongkak. Dan mataku bersibobrok dengan bola sekelas malam dan semalam pisau itu. Gus Yusuf ... mengapa dirimu begitu tampan? Apakah nabi Yusuf juga setampan anda?
Ya Allah ... seharusnya aku menjaga pandangan bukan?
Aku menunduk. Kembali mengambil napas sejenak sekaligus mendengarkan debar jantung yang sedari tadi bertalu. Hmm ... semoga wajahku tidak berubah menjadi semu merah.
"Nazila, apa sudah selesai mengambil napasnya?" Tanyannya.
Aku segera mendongkak dan mengangguk. Terlalu cepat sampai leherku terasa sakit. Duh, aku ini kenapa sih? Kenapa tidak pernah normal kalau bertemu dengan Gus Yusuf?
"Hemm." Gus Yusuf menunduk dengan menutup mulutnya. Tangannya bertengger di wajah. Entah kenapa, aku merasa nada yang di keluarkan Gus Yusuf tadi seperti menahan tawa. Apa dia menertawakanku? Apa aku terlalu konyol?
"Hahaha," tawanya menyembur begitu saja. Aku kembali menunduk. Duh, pasti wajahku sudah seperti tomat ceri deh. Merah sempurna mengalahkan khumairoh--nya siti Aisyah.
"Ehem. Maaf. Saya tidak bermaksud menertawakanmu."
Aku mengangguk antara mengerti dan tidak. Memlerdalam tundukan. Entahlah. Berusaha berpikir positif, tapi Gus Yusuf tadi seperti benar-benar menertawakanku. Ke--salting--an yang entah kapan akan sirna.
"Nazila ... jangan terlalu dekat membaca kitabnya, tidak baik untuk matamu." Gus Yusuf mengingatkan. Dan dengan cepat aku kembali mendongkak. Lagi-lagi ... kenapa kayak angin begitu, sih? Bukannya kembali pada posisi anggun malah yang ada aku seperti murid sekolah yang dibangunkan guru karena tertidur di jam pelajaran. Memalukan!
Cukup!
Tanganku menyapu wajah. Menutupi dengan jemari yang saling berhimpitan. Tidak siap melihat mata Gus Yusuf.
"Nazila, tidak apa-apa. Jangan menutupi wajahmu. Saya tidak marah," Gus Yusuf memberikan pernyataan tak keberatannya.
Bukan, Gus ... ini bukan tentang anda yang marah terhadap saya. Tapi ini tentang saya yang malu terhadap anda. Entah kenapa hari ini aku seperti kehilangan diriku. Apa karena terlalu gugup hingga tidak sadar membaca terlalu cepat dan lupa bernapas?
Iya. Sepertinya karena itu. Aku belum bisa menghilangkan rasa nerveus--ku hingga masih nampak bodoh dihadapannya.
"Nazila, baca bab selanjutnya saja," perintahnya tegas. Aku mengintip dari sela jari. Gus Yusuf kembali menekuri kitabnya. Dan akan kupastikan, dia pasti tak akan melihat wajahku. Hem ... semoga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love You, Gus! (END)
General Fiction#rangk 3 in pesantren entahlah... banyak hal yang berubah.. banyak hal yang terlupakan. waktu menghapusnya. waktu menutupnya dan waktupun yang merubahnya. tapi kenapa? kenapa waktu tak merubah perasaanku atas dirimu? tak menghapusnya atau menc...