30 # Kejutan

9.7K 771 20
                                    

Mbak Aisyah menaiki tumpukan bantal. Iya, aku dan Mbak Aisyah sama-sama takut dengan hewan berlendir itu.

"Takut kok sama hewan. Takut ya sama Allah," ucapnya sok bijak.

Aku melemparkan apapun benda di sekitarku. Tak peduli mau keras atau tidak. Yang terpenting orang itu harus dimusnahkan!

"Nggak peduli!"

***

As-sholatu wa as-salamu 'alaik ... Ya imaman ... Ya rasulullah ...

Lantunan qiroah itu menggema dari masjid pesantren. Tilawah ini sering diputar ketika menjelang magrib dan subuh.

Aku menunduk. Mengamati deretan huruf arab yang berjejer rapi. Tatapanku jatuh pada fashal sholat gerhana. Semalam, aku mempelajarinya hingga larut. Ah, betapa susahnya ketika aku mencoba mengerti bab mengenai tata cara sholat sunnah gerhana ini. Mengapa begitu sulit? Dan itu membuatku kesal.

Terlebih dengan ketidak hadiran Gus Yusuf yang mendadak. Padahal aku sudah mencoba untuk memahami ketiga fashal di sini untuk dirinya. Aku ingin mendengar pujiannya lagi. Tapi ...

Argh!

Aku ingin menangis. Berteriak yang aku bisa. Kecewa. Rasa itulah yang muncul. Aku rela menyita waktuku untuk belajar--bahkan tak kuhiraukan Andin yang ingin berbicara padaku. Pun dengan Mbak Aisyah dan Mbak Mia. Semua kuabaikan. Demi mendengar pujian Gus Yusuf.

Namun apa?

Kekosongan.

Aku masih ingat, setengah jam yang lalu Mbak Aisyah datang tergopoh-gopoh membawakan kabar jika Gus Yusuf berhalangan hadir karena ada acara mendadak. Marah? Tentu saja.

Tapi aku bisa apa? Objek yang membuatku marah nyatanya tak ada. Dan Mbak Aisyah mengusulkan untuk kembali ke pesantren putri namun aku menolaknya. Sendiri di sini lebih baik, dari pada mendengar suara berisik santri. Setidaknya Madin adalah tempat yang tepat untuk bersembunyi ketika sedih--setelah kamar mandi.

Ya rasulullah ....

Kembali aku mendengar tilawah itu. Ah ... Bagaimana aku tidak menyadarinya. Kemerduannya selalu mampu membuatku tenang. Ya, itu berhasil. Kekecewaanku tidak separah tadi. Setidaknya lantunan qiroah tersebut mampu membuatku melupakan kemarahan yang ada.

Hmmm ....

Tarik napas ... buang ...

Lebih baik.

Ketenangan kembali menghampiri hatiku.

Terima kasih Ya Allah karena telah menciptakan kalam yang begitu indah.

Tak apa Gus Yusuf tak hadir. Bukankah seharusnya aku ke sini untuk belajar? Lalu mengapa harus kecewa? Toh aku bisa belajar sendiri. Seperti biasa--jika tidak dalam pengawasan si Lambe Pedes a.k.a Jamia Bintu Arifin.

Bismillah ...

"Fashlun ai haadza fashlun utawi iki iku ono bab ...."

Aku memulai bacaan dengan basmalah meski dalam hati. Satu persatu kalimat kuurai dengan makna dan tarkib. Lalu dilanjutkan dengan me-muradh fashal ini.

Lancar. Namun entah mengapa aku merasa sedih. Apa karena tidak ada Gus Yusuf yang akan memujiku?

Ya Allah ... ada apa dengan diriku?

"Bacaanmu semakin baik, Nazila."

Aku mendongkak. Sekejap suara qiroah lenyap. Hening. Pandanganku terpaku hanya pada satu objek yang mengenakan peci hitam itu. Lesung pipitnya yang menghiasi juga menambah aku lebih betah berlama-lama untuk melihatnya.

Love You, Gus! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang